Minggu, 26 Januari 2014

Sebuah Akhir, Bab 1

Original character by Masashi Kishimoto
Pertemuan di sebuah bukit yang dikelilingi padang ilalang yang tinggi membuat tempat itu terasa begitu asing. Mereka menemukan tempat itu dan dirinya masing-masing tanpa sengaja hanya langkah takdir yang membimbing, mengurut benang takdir berwarna merah. dewa takdir memang tidak pernah terduga sebelumnya. Dengan ke empat mata biru yang yang saling menatap dan membaca isi hati, suara angin menerpa ilalang-ilalang membuat musik kerinduan dan mencinptakan sebuah kenangan dalam benak kedua insan tuhan itu.
Sebuah Akhir
Hari ini terlalu banyak mobil mewah terparkir di halaman kantornya, mungkin sedang banyak kolega-kolega besar perusahaan tersebut yang sedang berkunjung atau rapat di dalam sana. Gadis itu berbelok sedikit menghampiri pos satpam yang sedang sibuk mengawasi semua aktivitas, rupanya benar tamu-tamu ini adalah orang-orang penting di dunia bisnis. Setelah puas mencari tahu ia kembali berjalan masuk kedalam gedung pencakar langit itu. ia hanya karyawan biasa dengan jabatan yang tidak terlalu tinggi dan prestasi yang tidak terlalu menonjol.
Setiap hari ia melihat orang-orang dengan usia yang masih muda bersaing dengan usia yang sudah tidak muda untuk mendapatkan pujian dari atasan dan yang lainnya. Dia bekerja cukup keras tapi tidak jika dibandingkan dengan orang-orang yang haus pujian di sekelilingnya. Layaknya wanita ia senang bergosip tapi hanya beberapa saja diantara teman-temannya yang menyukai kegiatan itu. Mereka sering mengejeknya karena prestasi yang kurang baik, tapi ini hidupnya sampai suatu hari seseorang merenggut kebahagiaan miliknya.
"Ino, kau belum mengerjakan laporan minggu lalu." keluh teman sebelah mejanya.
"Oh, laporan itu?" Ino kembali memoles wajahnya dengan bedak.
"Apa maksudmu dengan laporan itu?" temannya berambut merah muda langsung naik pitam melihat tingkah laku Ino yang santai.
"Kau sedang PMS, Sakura?"
"Ino, mereka sering membicarakanmu masalah prestasi pekerjaanmu yang kurang baik."
"Lalu kenapa? Bukankah dipecat lebih baik daripada mengundurkan diri. Jika dipecat nanti aku akan dapat pesangon sesuai kontrak masa kerjaku."
"Aku harap." Sakura membenahi lagi file-file yang akan ia berikan pada atasannya.
Baru setelah Sakura pergi Ino membuka komputernya dan menjalankan beberapa program, ia mengerjakan laporanya dengan cepat kemudian pergi keluar ruangan yang dipenuhi sekat-sekat setinggi dada tanpa peduli bisikan-bisikan pedas yang sampai ke telinganya.
Ia sangat ingin bebas dari rutinitas membosankan ini tapi ia terlalu takut masalah keuangan yang pasti akan melilitnya ketika ia sudah mengundurkan diri, walaupun sebuah ladang bunga menantinya di desa kelahiranya tapi rasa kepuasan dirinya tidak terpuaskan jika itu bukan hasil keringatnya sendir. Rasanya menjengkelkan sekali mengingat dulu ia pernah terpilih menjadi karyawan teladan, Ino pernah merasa sangat berambisi tapi itu semua sudah ia lupakan ketika seseorang menfitnahnya.
Kabar bahwa ia adalah wanita jalang yang menjual tubuhnya kepada atasannya muncul tanpa tahu siapa yang menyebarkan, bahkan Sakura sendiri sampai percaya bahwa Ino seperti itu. justru yang ada adalah pelecehan seksual yang dilakukan atasannya yang dulu. Ino yang saat itu mempertahankan reputasinya sebagai karyawan teladan mencoba menerangkan apa yang terjadi tapi berita itu terlanjur meluas. Kini ia menjadi wanita yang sedikit angkuh agar tidak ada laki-laki yang berani mendekatinya, karena setelah berita bohong itu meluas pelecehan semakin menjadi-jadi bahkan bukan dari atasannya saja melainkan dari teman-temannya juga.
Tiga bulan kemudian atasannya dipensiunkan dan jabatan yang kosong itu diisi dengan putra pemilik perusaahan itu sendiri. Semuanya tahu perusahaan itu milik Uchiha, keluarga ningrat yang dingin mereka dikaruniai dua orang putra yang jenius. Dan yang mengisi jabatan kosong di kantornya adalah sang bungsu Uchiha Sasuke. Ino sedikit senang karena ada satu orang yang tidak menganggapnya wanita jalang karena Sasuke belum tahu tentang berita bohong itu. semoga saja tidak untuk selama-lamanya biarpu itu mustahil.
"Ino!" panggil suara dingin dari ujung koridor yang masih sepi karena belum datang waktu makan siang, "bisa bantu aku?" entah dari mana atasannya itu mengetahui namanya, sedangkan prestasinya yang sedang-sedang saja tidak memungkinkan seorang atasan tinggi seperti dia mengingat namanya.
"Baiklah."
Tapi Ino melupakan pertanyaan besar yang baru saja lewat dalam pikirannya, rasanya ia terlalu senang pada orang yang tidak menganggapnya wanita jalang di kantor itu. Rasanya pun atasannya itu tidak sedingin kelihatannya, dia sibuk mencari beberapa arsip dari rak-rak berdebu sedangkan Ino hanya membereskan arsip-arsip yang telah Sasuke pilih. Mereka keluar dari ruang arsip saat jam makan siang koridor sudah ramai denngan karyawan yang berlalu-lalang. Keramaian itu langsung terhenti ketika Ino dan Sasuke keluar bersamaan dari ruang arsip. Mereka yang masih menyegani Sasuke tersenyum kikuk sambil menyapa tapi setelahnya mereka langsung berbisik-bisik sambil melirik sinis ke arah Ino terutama para wanita yang sudah memoleh wajahnya dengan bedak setebal mungkin untuk memikat atasannya itu. Mereka masuk ke dalam ruangan direktur milik Sasuke ia langsung duduk dam memerintahkan Ino menaruh arsip-arsip itu di mejanya.
"Tunggu dulu Ino," cegah Sasuke ketika Ino hendak keluar dari ruangan itu, "mengapa reputasimu begitu jelek sekarang?" tanya Sasuke dengan nada bicara yang seolah teman lama.
Ino sedikit kebingungan menanggapi pertanyaan atasannya itu, "Mereka hanya salah paham." Bulir keringat muncul di dahi Ino, ia sungguh tidak ingin atasannya itu tahu berita apa yang menyebar nantinya.
Sasuke menyipitkan matanya pada Ino, "Baiklah kau boleh pergi."
Ino keluar dengan perasaan heran dan bercampur baur dengan perasaan lain. Rasanya ia pernah melihat wajah Sasuke dulu tapi ia sudah lupa dan akhirnya ia menyimpulkan bahwa dia bertemu Sasuke baru saja. Baru berjalan beberapa langkah meninggalkan ruangan atasannya Sasuke, Ino melihat Sakura yang berjalan terburu-buru menghampirinya. Wajahnya memancarkan rasa ketidak percayaan sekaligus kecewa yang begitu mendalam. Wanita berambut manis itu sempat diam sejenak di hadapan Ino dan kemudian melanjutkan jalannya sambil menyenggol keras bahu Ino, Sakura masuk kedalam ruangan Sasuke dengan membanting pintu ketika menutupnya. Ino hanya mengangkat bahu dan kembali ke tujuan awalnya makan siang.
"Dia benar-benar tidak tahu diri ya?" bisik seseorang yang biasa bergosip dengannya, Ino mengerenyitkan sebelah alisnya dan berbalik menghadap kedua wanita yang berbisik tadi.
"Memang ada apa?" Ino menahan semua rasa kesalnya mencoba menikmati gelarnya sekarang sebagai wanita murahan.
"Kau tidak tahu?" sahut salah seorang dari mereka sinis, "Sasuke-sama sudah akan menikah dalam waktu dekat ini?"
Ino sadar kesalah pahaman sudah menjadi makan siangnya hari ini, "Memang siapa yang akan menikah dengan dia?" Ino mulai merendahkan mereka.
"Itu masih dirahasiakan, mereka tidak suka mengumbar-ngumbarhal itu katanya." balas seorang lagi tidak kalah sinis.
"Oh begitu, itu bukan urusanku..." Ino kembali berjalan melupakan bisikan-bisikan kotor para teman kantor lelakinya.
Ia mengambil sepiring salad buah, Ino memang mencintai tubuhnya sendiri tapi bukan berarti dia akan memberikannya dengan mudah pada orang lain. Ia terlalu mencintai tubuh langsinya itu sampai sekarang ia masih menjaga kehormatannya, tidak seperti teman-temanya yang lain bahkan sampai ada yang pernah berkali-kali melakukan aborsi.
"Mereka selalu saja." dengus Ino menghabiskan makan siangnya.
Sakura tidak kembali setelah makan siang siang. Pekerjaan kembali menumpuk seperti biasanya. Sesempat mungkin Ino mengkikir kukunya terlebih dahulu baru ia mulai bekerja, entah mangapa samapai sekarang ia belum juga dipecat padahal ia sudah menerima surat peringatan beberapa kali. Sore menjelang perkerjaan Ino hampir selesai jadi ia menambah waktunya sebentar agar besok bisa lebih santai. Ketika berdiri dari bangkunya ternyata malam sudah menjelang kondisi kantor sudah sepi, Ino mengangkat tangan kirinya melihat jam tangannya pukul sembilan malam bergegas ia keluar ruangan hendak pulang. Sekilas matanya melihat barang-barang milik Sakura yang belum disentuh sejak tadi siang. Dengan niat baik Ino membereskan barang-barang temannya itu dan ingin mengantarkan ke rumahnya. Tanpa sengaja ia melihat foto di dalam lipatan dompet wanita berambut manis itu. Sasuke, Sakura dan seorang laki-laki dengan rambut kuning segar dan mata birunya yang semangat, tampaknya itu foto mereka sekolah dengan seragam sekolah menengah.
Ino memutuskan untuk membawa tas itu tapi bukan ke rumah Sakura melainkan ke ruangan Sasuke, ia sudah tidak peduli jika ada orang yang akan melihat dan gosip itu akan semakin kencang. Ia mengetuk ruangan itu sampai terdengar suara perintah untuk masuk. Sasuke tampaknya masih seperti biasa mengerjakan arsip-arsip yang tadi siang mereka cari.
"Ino?" ia heran siapa yang masuk ke dalam ruangannya saat itu, "ada apa?" dia segera menutup pekerjaannya dan mengantongi pena emas yang indah ke saku jasnya.
"Maaf pak," Ino sedikit membukuk memberi salam.
"Sasuke saja," atasannya itu berdiri mendekatinya.
"Sepertinya saya tahu anda akan menikah dengan siapa pak, tapi mengapa anda masih disini sedangkan calon istri anda sedang salah paham dengan kejadian tadi siang?" Ino menyodorkan tas berwarna merah muda milik Sakura.
Sasuke menerimanya tanpa bicara, Ino langsung pergi saat itu juga. Ino berjalan terus melangkah pulang sambil berharap temannya akan tetap menikah dan tidak terpengaruh dengan gosip murahan para karyawan kantor yang bodoh-bodoh itu.
Sampai di ambang gang ke tempat apartemenya ia berpapasan dengan tetangga kamarnya, Chouji. Sepertinya ia baru pulang dari mini market yang ada di ujung persimpangan. Mereka saling menyapa layaknya tetangga dan berjalan beriringan. Chouji menunjuk seseorang yang sedang menatap pintu kamarnya dengan mata yang bengkak.
"Sakura?" bisik Ino kaget melihat tampang temannya itu sungguh berantakan.
"Baiklah Ino aku masuk dulu." belum sempat Chouji memasukan batang kunci ke lubangnya, Sakura menyerang Ino dengan gelap mata. Mau tak mau Chouji harus melerai mereka, ia sedikit kesal karena kantong keripiknya meletus karena terinjak.
Ino kaget menerima serangan brutal Sakura pipinya berdarah bekar kuku Sakura. Tapi ia paham bagaimana perasaan seorang wanita yang sebentar lagi menikah calon suaminya berselingkuh dengan teman dekatnya. Sejujurnya ia ingin sekali menjelaskan pada Sakura apa yang terjadi, tapi jika ia menjelaskan semuanya hanya akan terdengar seperti alasan-alasan bodoh di telinga Sakura yang sedang kalap sekarang ini.
"Nona ada apa?" Chouji sedikit kewalahan menahan Sakura yang ingin melepaskan diri dan kembali menyerang Ino.
Ino tersenyum sinis dan bangkit, "Biarkan saja dia, jika kau ingin membunuhku kau akan menyesal selamanya dan akan di hantui rasa bersalah seumur hidupmu."
Bahkan bukan Chouji saja yang heran Sakura pun menjadi ikut heran mengapa Ino berkata demikian. Kamar Ino dihimpit dengan laki-laki, salah satunya adalah Chouji dan yang satunya lagi adalah seorang yang tidak jelas pekerjaannya. Laki-laki itu keluar dengan tampang kesal dengan rambutnya diikat tinggi diatas kepala seperti nanas, ia marah mendengar ribut-ribut persis di depan kamarnya.
"Ada apa ini?" serunya jengkel, "jika kalian ribut lagi, ku pastikan kalian semua yang akan mati." laki-laki itu kembali menutup pintunya keras-keras.
Pelahan Chouji melepaskan wanita yang terlihat nyaris gila di matanya. Sakura ambruk tidak bertenaga, air matanya kembali berjatuhan tidak terbendung. Ino memberi isyarat agar Chouji masuk saja yang di jawab dengan anggukan yang sedikit kesusahan karena lehernya yang besar.
"Apa kau pikir aku seperti itu?" tanya Ini berjalan mendekat, "aku kira kau percaya padaku, jika kau ingin tahu apa yang terjadi tanyakan saja pada calon suamimu itu."
"Kau!" nada suara Sakura masih terdengar geram, "Kau tidak tahu siapa dia!" teriak Sakura.
"Aku tahu dia ada dibelakangmu." Sakura tidak ingin dianggap bodoh mengikuti petunjuk Ino yang baginya adalah pengkhianat untuk menoleh ke belakang.
"Sakura..."
Esok harinya Ino resmi mengundurkan diri dan pindah dari apartemennya. Ia tidak ingin ada yang mengetahui kemana ia pindah dan hanya memberi pesan pada Chouji bahwa mereka jangan mencarinya dan berhenti penasaran dengan dirinya jika ada yang bertanya nanti.
Ia ingin kembali ke kehidupan normalnya tanpa cacian dan bisikan serta fitnah yang mengelilinginya, ia kembali ke desa dimana ia dilahirkan mengurus rumah warisan ayahnya dan ladang bunga yang waktu itu ia urus dari jauh dengan mengandalakan pengurus kebun. Sekarang ia ingin ikut terlibat, pengusaha bunga tidak rugi justru menguntungkan lebih banyak dari pada pekerjaannya dulu dan pekerjaan ini semakin istimewa karena kasih sayang para pengurus yang sudah berkerja lama dengan ayahnya begitu hangat dan ia rindukan. Ino yang awalnya merasa tidak puas dengan pekerjaan seperti ini justru jatuh cinta pada hal yang dulu sering dilakukan ayahnya saat dia kecil.
Di desa itu ia menemukan juga padang ilalang tinggi, dengan rasa penasaranya ia menerobos ilalang-ilalang tinggi itu dan akhirnya menemukan sebuah pohon beringin yang tersembunyi di baliknya, sekeliling pohon itu hanya ditumbuhi rumput-rumput pendek yang nyaman untuk diduduki. Ino mendekati pohon itu ada seseorang yang sedang tertidur lelap dibawah pohon itu, perasaan yang familiar dari wajah dan rambut itu terus memutar memori Ino mencari dimana ia telah melihatnya. Sampai pria itu membuka matanya yang berwarna biru cerah tapi memancarkan aura redup. Kedua mata biru itu saling menatap saling membaca tanpa suara, diiringi suara angin yang menyibak ilalang membuat sebuah musik alam dan menyebarkan aroma kenangan yang sulit dilupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar