Minggu, 26 Januari 2014

Di Balik Sinar, Bab 4


Rio tidak menyangka Dinda akan membangunkannya secepat itu, dia marah dengan memelototi Dinda karena merasa kurang tidur. Dinda menggedigkan bahu dan menunjukan jam berapa sekarang. Jam 10. Hanya itu yang Rio lihat, tidak tahu kapan itu. Karena tidak ada sinar matahari yang masuk waktu menjadi kabur, jam tidurnya pun  menjadi tidak jelas. Sebelum tidur Rio ingat jam 11, jadi dalam pikiran panjang yang terjadi dalam kejapan mata Rio menyimpulkan ini jam 10 pagi.
“Aku kira kau mati.” kata Dinda dengan cueknya mengangkat sebagian kaosnya keatas.
“Apa yang kamu lakukan!” otomatis Rio langsung berbalik badan.
“Ada sedikit luka saat kita melompat dari mobil kemarin.” Dinda menempelkan kapas yang sudah dibalut kain kassa dengan plester disekitar pinggangnya.
“Tapi bisakah tidak didepanku?!” Rio masih membalik badan dengan kesal.
Dinda menepuk bahu Rio agar berbalik, “Memang kenapa?” tanya Dinda.
“Apa kau tidak diajari perbedaan tentang laki-laki dan perempuan?!” Rio benar-benar sudah gila menyetujui pelarian dengan gadis aneh itu.
“Ya, tentu saja.” Dinda berdiri memperlihatkan tubuhnya yang sebenarnya biasa saja kalau dilihat dari sudut mata anak laki-laki seperti Rio, “Kau punya jakun aku tidak.” Dinda menunjukan tenggorokannya, “Aku punya–”
“Oke hentikan, ini bukan pelajaran biologi.” Rio langsung memotong karena tahu kemana alur Dinda akan menunjukan bagian tubuhnya.
Dinda pergi dengan menggeleng-gelengkan kepala seolah memaklumi kelakuaan aneh Rio. Rio memijat pangkal hidungnya. Sampai kapan ia akan lari dengan Dinda, sedangkan baru sehari saja dia sudah merasa menjadi orang aneh. Dinda muncul lagi membawa makanan kaleng yang sudah dibuka.
“Makanlah.” Tanpa disuruh pun Rio pasti akan memakannya, “Kita akan keluar setelah ini. Aku sudah membereskan semuanya.”
Rio menelan makannya dengan susah payah, “Aku belum membereskan barangku.”
“Sudah ku bereskan juga.”
“Ap-apa?! Hei jangan sentuh barang orang sembarangan.” Rio berlari memeriksa ranselnya, “Kenapa kau keluarkan semua barang-barangku?” Rio merasa gila menghadapi Dinda yang semakin aneh.
“Kau membawa barang yang tidak berguna.” Jawab Dinda sambil menyuapkan sisa makanannya.
“Apanya yang tidak berguna itu semua bajuku!”
.
.
.
Rio tidak merasa yakin dengan dia berada didepan Dinda menyusuri lorong bawah tanah mencoba keluar dari persembunyian mereka. Penjelasan Dinda belum sepenuhnya selesai, Rio tetap bertanya-tanya kalau dia adalah percobaan pertama yang dihiraukan kenapa justru mereka yang dikejar.
Rio tetap berjalan dengan perasaan sebal mendengar suara dari balik punggungnya. Dinda terus-terusan mengunyah perbekalan mereka. Awalnya gadis itu bilang hanya membuka satu kaleng tapi pada akhirnya tas perbekalan mereka yang dibawa oleh Rio menjadi ringan. Pagi tadi Dinda mengeluarkan semua baju miliknya agar bisa membawa makanan lebih banyak.
Rio berbalik mendapati Dinda yang makan sambil berjalan dengan jarak yang sedikit jauh darinya. Mulutnya belepotan cokelat dan saus. Rio merinding melihat gaya makan Dinda yang apapun dimasukan kedalam mulutnya.
“Apa rasanya cokelat dengan saus?” tanya Rio melupakan rasa sebalnya dengan rasa penasaran.
“Tentu saja tidak enak.”
Rio menyesal telah bertanya dan berbalik badan lagi, ada tiga persimpangan yang terbuat dari dinding tanah dilapisi batu-batuan. Rio yang berada didepan maka dialah yang memutuskan, dia mulai mengambil jalan lurus. Seketika lehernya merasa tercekik, rupanya Dinda menarik Rio dari belakang.
“Apa?!” bentak Rio kesal.
“Kau salah jalan.” Dinda menunjukan arah kanan.
“Kalau begitu kamu didepan!”
“Nanti aku enggak bisa makan.” jawab Dinda dengan bahasa tubuh yang mempersilakan Rio jalan duluan, “Be gentle, Rio.” Rio membalas dengan tatapan membunuh.
Lorong itu bergetar diiringi suara gemuruh yang menakutkan. Rio menarik Dinda berlari secepat mungkin. Entahlah ia tidak bisa berpikir jernih tapi perasaanya berkata dia tahu jalannya dan akhirnya mereka sampai depan pintu dengan sangat cepat. Dia tidak menyangka akan sampai dengan bantuan insting bukan pikiran. Dinda sambil ikut terengah. Ternyata dia mausia juga, pikir Rio. Mereka menempelkan telinga pada papan pintu yang letaknya diatas kepala, seperti tutup peti.
“Kenapa ada getaran dan suara gemuruh?” tanya Rio bingung.
“Mereka menemukan letak rumah itu dan meledakannya dari atas sana.” Dinda mengambil botol minum dan menengguknya.
“Bagaimana ini? Jika kita keluar kita bisa tertangkap, mereka pasti ada di tempat mereka meledakan mobil kemarin.
“Tentu saja kita lari.” Jawab Dinda enteng.
“Kau pasti sudah tahu teori tidak mudah dilakukan, teman.” Rio kesal dengan nada enteng Dinda, seolah itu mudah.
“Kita lari masuk kedalam labirin lain.” kini Dinda yang bernada sebal seolah berhadapan dengan orang bodoh.
“Hei, santai kawan. Aku kan tidak tahu kalau ada labirin lain.” protes Rio.
“Kita lari masuk kedalam hutan, sekitar 200 meter kearah barat di bawah pohon akasia. Disitu ada pintu lain.”
“Baiklah dalam hitungan 3.” Rio menarik napas dalam-dalam bersiap membuka pintu, “1-2-3”
Mereka langsung menghambur keluar dan mendapati banyak lubang bekas ledakan-ledakan sekitar situ ternyata mereka beusaha meruntuhkan lorong bawah tanah yang mereka lewati tadi. Dinda langsung menarik tanggan Rio agar mengikutinya. Mereka berlari tanpa berpikir, bahkan Rio tidak sanggup memikirkan sekarang yang sedang terjadi.
Rio kaget saat Dinda mendadak berhenti. Matanya kini memfokuskan kedepan mereka, lubang-lubang yang sama seperti tempat mereka tadi. Disana berdiri om Yoga sambil menenteng senapan berburu, mulutnya disumpal cerutu seperti biasa.
“Rio keponakanku sayang.” Teriaknya melepaskan cerutu dari bibirnya.
Tanpa aba-aba Dinda menodongkan pisau kearah leher Rio, “Jangan mendekat, dasar pengkhianat!”
Rio kaget ada sebilah pisau menempel dikulit pelapis nadinya. Dia hendak protes tapi kembali menelan kata-katanya karena teriakan Dinda yang penuh emosi. Sebuah pikiran lewat untuk melepaskan hidupnya ditangan Dinda, toh dia seorang yatim-piatu dan tidak punya teman selain orang yang menodongnya sekarang.
“Silahkan saja, Dinda sayang.” kata om Yoga tenang sambil menghisap cerutunya lagi, “Dia tidak berguna lagi bagiku, asalkan kamu kembali pada om, om adalah wali sah kamu. Kamu tidak perlu bersusah payah menipu pasangan mandul itu.” mendengar kata-kat itu Rio ingin menangis meraung-raung, selama ini om Yoga yang penyayang yang selalu memperhatikannya adalah seorang brengsek pengkhianat. Om Yoga selalu tahu apa yang diinginkannya, tapi kini topengnya terbuka dengan jelas.
“Aku akan ikut om kalau om kembalikan ayahku!” Rio kaget mendengarnya, bukannya Dinda bilang dia juga yatim-piatu.
“Jangan mengujiku Dinda.” Om Yoga menggeleng-gelengkan kepalanya, “Aku ini tidak bisa berbohong kalau ayahmu masih hidup.” Rio merasakan tangan Dinda bergetar menggenggam pisaunya.
“Kalau begitu lepaskan Rio.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar