Rio tidak menyangka Dinda akan membangunkannya
secepat itu, dia marah dengan memelototi Dinda karena merasa kurang tidur.
Dinda menggedigkan bahu dan menunjukan jam berapa sekarang. Jam 10. Hanya itu
yang Rio lihat, tidak tahu kapan itu. Karena tidak ada sinar matahari yang
masuk waktu menjadi kabur, jam tidurnya pun menjadi tidak jelas. Sebelum tidur Rio ingat
jam 11, jadi dalam pikiran panjang yang terjadi dalam kejapan mata Rio
menyimpulkan ini jam 10 pagi.
“Aku kira kau mati.” kata Dinda dengan cueknya
mengangkat sebagian kaosnya keatas.
“Apa yang kamu lakukan!” otomatis Rio langsung
berbalik badan.
“Ada sedikit luka saat kita melompat dari mobil
kemarin.” Dinda menempelkan kapas yang sudah dibalut kain kassa dengan plester
disekitar pinggangnya.
“Tapi bisakah tidak didepanku?!” Rio masih membalik
badan dengan kesal.
Dinda menepuk bahu Rio agar berbalik, “Memang
kenapa?” tanya Dinda.
“Apa kau tidak diajari perbedaan tentang laki-laki
dan perempuan?!” Rio benar-benar sudah gila menyetujui pelarian dengan gadis
aneh itu.
“Ya, tentu saja.” Dinda berdiri memperlihatkan
tubuhnya yang sebenarnya biasa saja kalau dilihat dari sudut mata anak
laki-laki seperti Rio, “Kau punya jakun aku tidak.” Dinda menunjukan
tenggorokannya, “Aku punya–”
“Oke hentikan, ini bukan pelajaran biologi.” Rio
langsung memotong karena tahu kemana alur Dinda akan menunjukan bagian
tubuhnya.
Dinda pergi dengan menggeleng-gelengkan kepala
seolah memaklumi kelakuaan aneh Rio. Rio memijat pangkal hidungnya. Sampai
kapan ia akan lari dengan Dinda, sedangkan baru sehari saja dia sudah merasa
menjadi orang aneh. Dinda muncul lagi membawa makanan kaleng yang sudah dibuka.
“Makanlah.” Tanpa disuruh pun Rio pasti akan memakannya,
“Kita akan keluar setelah ini. Aku sudah membereskan semuanya.”
Rio menelan makannya dengan susah payah, “Aku belum
membereskan barangku.”
“Sudah ku bereskan juga.”
“Ap-apa?! Hei jangan sentuh barang orang
sembarangan.” Rio berlari memeriksa ranselnya, “Kenapa kau keluarkan semua
barang-barangku?” Rio merasa gila menghadapi Dinda yang semakin aneh.
“Kau membawa barang yang tidak berguna.” Jawab Dinda
sambil menyuapkan sisa makanannya.
“Apanya yang tidak berguna itu semua bajuku!”
.
.
.
Rio tidak merasa yakin dengan dia berada didepan
Dinda menyusuri lorong bawah tanah mencoba keluar dari persembunyian mereka.
Penjelasan Dinda belum sepenuhnya selesai, Rio tetap bertanya-tanya kalau dia
adalah percobaan pertama yang dihiraukan kenapa justru mereka yang dikejar.
Rio tetap berjalan dengan perasaan sebal mendengar
suara dari balik punggungnya. Dinda terus-terusan mengunyah perbekalan mereka.
Awalnya gadis itu bilang hanya membuka satu kaleng tapi pada akhirnya tas
perbekalan mereka yang dibawa oleh Rio menjadi ringan. Pagi tadi Dinda
mengeluarkan semua baju miliknya agar bisa membawa makanan lebih banyak.
Rio berbalik mendapati Dinda yang makan sambil
berjalan dengan jarak yang sedikit jauh darinya. Mulutnya belepotan cokelat dan
saus. Rio merinding melihat gaya makan Dinda yang apapun dimasukan kedalam
mulutnya.
“Apa rasanya cokelat dengan saus?” tanya Rio
melupakan rasa sebalnya dengan rasa penasaran.
“Tentu saja tidak enak.”
Rio menyesal telah bertanya dan berbalik badan lagi,
ada tiga persimpangan yang terbuat dari dinding tanah dilapisi batu-batuan. Rio
yang berada didepan maka dialah yang memutuskan, dia mulai mengambil jalan
lurus. Seketika lehernya merasa tercekik, rupanya Dinda menarik Rio dari
belakang.
“Apa?!” bentak Rio kesal.
“Kau salah jalan.” Dinda menunjukan arah kanan.
“Kalau begitu kamu didepan!”
“Nanti aku enggak bisa makan.” jawab Dinda dengan
bahasa tubuh yang mempersilakan Rio jalan duluan, “Be gentle, Rio.” Rio
membalas dengan tatapan membunuh.
Lorong itu bergetar diiringi suara gemuruh yang
menakutkan. Rio menarik Dinda berlari secepat mungkin. Entahlah ia tidak bisa
berpikir jernih tapi perasaanya berkata dia tahu jalannya dan akhirnya mereka
sampai depan pintu dengan sangat cepat. Dia tidak menyangka akan sampai dengan
bantuan insting bukan pikiran. Dinda sambil ikut terengah. Ternyata dia mausia
juga, pikir Rio. Mereka menempelkan telinga pada papan pintu yang letaknya
diatas kepala, seperti tutup peti.
“Kenapa ada getaran dan suara gemuruh?” tanya Rio
bingung.
“Mereka menemukan letak rumah itu dan meledakannya
dari atas sana.” Dinda mengambil botol minum dan menengguknya.
“Bagaimana ini? Jika kita keluar kita bisa
tertangkap, mereka pasti ada di tempat mereka meledakan mobil kemarin.
“Tentu saja kita lari.” Jawab Dinda enteng.
“Kau pasti sudah tahu teori tidak mudah dilakukan,
teman.” Rio kesal dengan nada enteng Dinda, seolah itu mudah.
“Kita lari masuk kedalam labirin lain.” kini Dinda
yang bernada sebal seolah berhadapan dengan orang bodoh.
“Hei, santai kawan. Aku kan tidak tahu kalau ada
labirin lain.” protes Rio.
“Kita lari masuk kedalam hutan, sekitar 200 meter
kearah barat di bawah pohon akasia. Disitu ada pintu lain.”
“Baiklah dalam hitungan 3.” Rio menarik napas
dalam-dalam bersiap membuka pintu, “1-2-3”
Mereka langsung menghambur keluar dan mendapati
banyak lubang bekas ledakan-ledakan sekitar situ ternyata mereka beusaha
meruntuhkan lorong bawah tanah yang mereka lewati tadi. Dinda langsung menarik
tanggan Rio agar mengikutinya. Mereka berlari tanpa berpikir, bahkan Rio tidak
sanggup memikirkan sekarang yang sedang terjadi.
Rio kaget saat Dinda mendadak berhenti. Matanya kini
memfokuskan kedepan mereka, lubang-lubang yang sama seperti tempat mereka tadi.
Disana berdiri om Yoga sambil menenteng senapan berburu, mulutnya disumpal
cerutu seperti biasa.
“Rio keponakanku sayang.” Teriaknya melepaskan cerutu
dari bibirnya.
Tanpa aba-aba Dinda menodongkan pisau kearah leher
Rio, “Jangan mendekat, dasar pengkhianat!”
Rio kaget ada sebilah pisau menempel dikulit pelapis
nadinya. Dia hendak protes tapi kembali menelan kata-katanya karena teriakan
Dinda yang penuh emosi. Sebuah pikiran lewat untuk melepaskan hidupnya ditangan
Dinda, toh dia seorang yatim-piatu dan tidak punya teman selain orang yang
menodongnya sekarang.
“Silahkan saja, Dinda sayang.” kata om Yoga tenang
sambil menghisap cerutunya lagi, “Dia tidak berguna lagi bagiku, asalkan kamu
kembali pada om, om adalah wali sah kamu. Kamu tidak perlu bersusah payah
menipu pasangan mandul itu.” mendengar kata-kat itu Rio ingin menangis
meraung-raung, selama ini om Yoga yang penyayang yang selalu memperhatikannya
adalah seorang brengsek pengkhianat. Om Yoga selalu tahu apa yang
diinginkannya, tapi kini topengnya terbuka dengan jelas.
“Aku akan ikut om kalau om kembalikan ayahku!” Rio
kaget mendengarnya, bukannya Dinda bilang dia juga yatim-piatu.
“Jangan mengujiku Dinda.” Om Yoga
menggeleng-gelengkan kepalanya, “Aku ini tidak bisa berbohong kalau ayahmu
masih hidup.” Rio merasakan tangan Dinda bergetar menggenggam pisaunya.
“Kalau begitu lepaskan Rio.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar