Dering bel akhir
pelajar mulai bernyanyi lagi. Rio langsung membereskan buku-bukunya dan tidak
lupa membawa kotak makan Dinda, sepertinya dia harus mencucinya dulu . Rio
terus saja menunduk menghindari tatapan orang-orang yang penasaran bagaimana perasaannya
karena Dinda diskors akibat dirinya. Rio sampai bingung apa lagi yang harus ia
masukan dalam tasnya sedangkan teman-teman sekelasnya belum semuanya pulang.
“Rio!” seru Keysa geram karena Rio seolah sengaja
pura-pura tidak melihatnya yang daritadi sudah berdiri di depan meja dia dan
Dinda, “Aku mau kasih tau kamu hal lain.”
Mau tak mau Rio
langsung mengangkat kepalanya penasaran, “Apa?” ada sirine yang berbunyi dalam
kepalanya.
“Habis kita
selesai dari toilet aku liat Dinda aneh, dia –dia menyeramkan. Matanya kelihatan
jahat, yang aku takutin sekarang justru Nova. Aku udah lama tertarik dengan
kepribadian Dinda, dalam pengamatanku dia bukan orang yang suka main-main
walaupun nada bicaranya terdengar main-main.” Keysa berdiri menatap mata Rio
lekat-lekat agar Rio mau percaya padanya.
“Aku tau kok
soal itu.” kata Rio dengan santai menggendong tasnya, “Aku juga penasaran sama
dia.”
“Kalau kamu mau
ke rumahnya aku ikut.” kata Keysa benar-benar serius, dia punya banyak alasan
begitu mengkhawatirkan Dinda.
“Aku –aku naik
motor.” Rio benar-benar bingung karena motornya seperti motor balap yang kursi
belakangnya lebih tinggi, itu akan membuat Keysa ketakutan. Lagipula motor
seperti itu tidak enak dibawa pelan.
“Aku bawa
mobil.” katanya spontan seolah takut Rio akan meninggalkannya.
“Baiklah.” Rio
mengalah, tadinya ia akan pulang dulu menyuci kotak bekal Dinda.
Ponsel Rio
bergetar beberapa kali menandakan masuknya SMS. Dia langsung membukanya
membiarkan Keysa pergi duluan karena di sekolah tidak ada parker mobil jadi
mungkin dia memarkirnya agak jauh.
Pulanglah
kerumah. Jangan sampai Keysa ikut. Lakukan diam-diam.
-Dinda
Rio sedikit heran tapi ia mengurungkan niatnya untuk
bertanya. Ia langsung pergi ke tempat parkir dan menyalakan motornya. Rio
langsung pulang dengan kecepatan yang meliak-liauk melewati kendaraan lainnya.
Mugkin saja dia bisa kena tilang apalagi dia belum memiliki SIM.
Sampai di depan gerbang rumahnya yang cukup besar ponselnya
terus-terusan bergetar dengan nama Keysa tertera di layarnya. Rio merasa risih
dan mematikannya. Ia mencopot baterainya dengan kasar.
“Rio!” panggil Dinda dari arah rumah seberang yang
gerbangnya tidak kalah tinggi. Memang di situ adalah kawasan perumahan yang
cukup mewah.
Rio bingung mendapati Dinda ada disana sambil melambai-lambaikan
tangannya. Rio segera menyebrangi jalan komplek, “Darimana kamu tahu rumahku?”
Tanya Rio benar-benar bingung.
“Kitakan tetangga…” jawab Dinda dengan senang. Pakaiannya
sudah berganti dengan t-shirt dan celana jeans yang santai. Di balik gerbangnya
ada mobil sedan yang sedang menyala, “cepat kemasi baju-baju kamu dalam waktu
satu jam atau kalau tidak kita tertangkap.” Dinda tiba-tiba berubah serius,
“Cepatlah!”
Rio benar-benar bingung sampai akhirnya ia tidak bisa
berkutik dengan perintah Dinda, ia mengemasi beberapa baju santai dan pakaian
dalam tentunya. Ia juga membawa dompet dan seluruh bangungannya dalam bentuk
tunai. Walaupun pikirannya kacau, Rio masih dapat membaca arti dari kalimat
Dinda bahwa mereka akan kabur dari rumah.
Satu jam berikutnya mereka sudah ada di jalan entah dimana dengan
Dinda yang menyetir dengan sedikit kaku, “Apa kau sudah lama bisa menyetir?”
Tanya Rio ragu.
“Belum,” jawab Dinda sambil menelan ludahnya karena ada mobil yang menyalipnya dari kanan,
“baru kali ini aku menyetir mobil.”
Rio langsung tersedak, menyuruhnya meminggirkan mobil
mereka. Dia langsung menggantikan posisi Dinda sebagai supir. Rio benar-benar
berkeringat karena hampir saja mereka mengalami kecelakaan lalulintas kalau
Dinda tetap terus menyetir.
.
.
.
Awan menjadi gelap seketika, titik-titik hujan mulai turun
semakin deras. Seorang pria separuh baya dengan kumis dan janggut tipis duduk
di pelataran rumah sambil memperhatikan tamn rumahnya yang tersiram air hujan.
“Kau pikir bisa melarikan diri dari ku, tikus kecil?” ia
menghembuskan asap rokoknya, kini tatapannya beralih pada orang yang senantiasa
berdiri di belakangnya dengn tegap, “Lacak mereka! Aku harus menghukum dulu seekor
tikus bodoh yang tidak hati-hati.”
Keysa meringkuk dekat pintu masuk. Ia mencicit ketakutan,
memandangi pria itu yang semakin mendekat. Ia mengusap halus wajah halus Keysa
dengan rokoknya, tentu saja gadis itu ingin menjerit sejadinya. Ada rasa panas
bercampur perih di pipi kirinya, ia hanya mampu menggeram sakit pria yang
daritadi berdiri tegap seolah memberi ancaman lewat tatapan matanya ‘kalau
menjerit kau pasti merasakan yang lebih dari ini’. Keysa besujud memohon ampun.
Taman rumah itu seolah berfungsi sebagai tirai dari jalanan sepi komplek
perumahan elit itu.
.
.
.
“Kita mau kemana?” Rio sebal walaupun dia yang mengemudi
tapi tetaplah Dinda yang menyetirnya, gadis itu terus-terusan memberi instruksi
yang tak jelas kadang mereka hanya berputar-putar dan bahkan nyaris keluar
kota.
“Menghabiskan bahan bakar.” Kata Dinda asal ia sibuk
menghadap kebelakang membehani tasnya dan menariknya kedepan.
“Kenapa dibawa kesini? Sempit.” keluh Rio yang menerima tas
ranselnya di kaitan oleh Dinda. Seperti anak sekolah yang baru pertama masuk,
ia memakai tasnya dengan bantuan Dinda.
“Belok kanan!” perintah Dinda tanpa melihat jalan.
Sebuah gerbang usang menjulang tinggi. Tempat yang
berantakan dengan sampah drum-drum bekas minyak mentah. Rio terlalu bingung
untuk bertanya ini dimana. Dinda membuang barang-barang mereka keluar jendela.
“Hei!” protes Rio karena tasnya dilempar begitu saja.
“Jangan hentikan mobil dan lompat!” setelah berkata begitu
Dinda langsung lompat sambil bertertiak cepat.
Rio yang sadar akan menabrak tumpukan drum yang masih berisi
minyak langsung melompat mengikuti saran Dinda. Ledakan tidak terhindarkan
setelahnya. ‘Apa aku sedang bermain film action?’ batin Rio nyaris Gila.
Dari belakang terdengar suara jeritan dan tepuk tangan
dengan gembira. Dinda sedang meyoraki kepulan asap dari mobilnya dan drum-drum
itu seperti melihat kembang api.
“APA KAU GILA?!” Rio benar-benar tidak tahan dengan tingkah
Dinda.
Dinda tidak menjawab justru melemparkan salah satu tasnya
pada Rio yang begitu berat. Dia berlari lagi sambil menarik Rio. Tas Dinda terlihat
begitu kecil dibandingkan tas-tas yang dibawa Rio. Mereka sampai di tepi hutan
sekitar situ. Dinda melepaskan gandengannya dengan Rio dan mendekati salah satu
pohon. Dinda berjongkok membersihkan sedikit dedaunan disekitar kakinya.
Tiba-tiba dia seperti mengangkat sebuah papan, Rio segera mendekatinya dan
melihat ada ruang bawah tanah yang gelap dibawah kakinya.
“Masuklah…” kata Dinda seperti mempersilahkan tamu masuk
kedalam rumahnya.
“Ap –Apa ini?” Rio kehabisan kata untuk menunjukan
kbingungannya pada gadis yang selalu tersenyum manis itu.
“Akan ku jelaskan di dalam.”
Setelah mereka masuk ternyata ruangan itu berbentuk sempit
dan memanjang. Dinda terus berjalan menyorotkan cahaya senternya. Rio salah
mereka belum sampai dimanapun itu, ternyata pintu tadi hanya sebuah pintu masuk
dalam sebuah labirin yang membingungkan baginya. Dinda dengan percaya diri
terus berjalan sampai pada sebuah pintu kayu lagi.
Mereka masuk menggambarkan sebuah ruangan kayu yang lembab
dan berdebu tebal, ruangan itu berinterior klasik dengan ukiran-ukiran pada
dinding kayunya.
“Kalau tidak salah ada sekitar 4 penyedot debu disini.” Kata
Dinda sambil berusaha membuka salah satu dinding kayu yang ternyata adalah
sebuah lemari tersembunyi.
Dinda menyalakan sambungan listrik agar ada cahaya yang
cukup dan mampu menyalakan penyedot debu itu.
“Kau mau menjelaskan sesuatu?” Tanya Rio yang sudah begitu
penasaran.
“Belum, setelah kita membereskan ini semua.” Dinda
menyerahkan salah satu penyedot debu pada Rio.
“Listrik ini dari mana?”
“Itu masuk salah satu penjelasan nanti.” Jawab Dinda mulai
membersikan.
Setelah dibersihkan dan dipel ruangan itu terlihat seperti
sebuah rumah kayu yang nyaman. Potongan-potongan kayu yang dipernis indah dan
perabotan yang memang benar-benar sebagai menunjang kehidupan. Rumah yang
sungguh sulit dicapai. Terdapat sofa dan kasur yang bungkus dengan plastic yang
dihisap udaranya agar tidak berjamur. Benar-benar ditata untuk melarikan diri.
“Silahkan makan.” Dinda sudah menyajikan makanan kaleng di
piring kaleng, membuat Rio ingin kembali lagi dan makan masakan bi Inah.
“Dinda, kamu belum bercerita apapun.” Kini Rio menuntut, ia
sudah benar-benar nyaris gila hari ini.
“Baiklah…” Dinda meletakan sendoknya dan menegapkan
badannya, “Aku sudah tidak memiliki ayah dan ibu lagi begitu juga kau.” Rio
hendak membantah karena ia masih melihat ayah dan ibunya tadi pagi sebelum
berangkat kesekolah.
“Makanlah dulu kamu perlu tenaga untuk mendengarkan ini.”
Dinda mulai menyuap lagi makanan kalengnya yang terasa lebih enak sekarang.
Bagi Rio Dinda menjadi menakutkan ketika tidak tersenyum.
Dia menuruti perintahnya dengan diam.