Minggu, 26 Januari 2014

UAS Belajar dan Pembelajaran Geografi


1.      Lima peran guru dalam proses pembelajaran
·         Guru sebagai pendidik  adalah guru yang memiliki kepribadian yang kuat untuk mengelola kelas untuk menjadi pautan para siswa.
·         Guru sebagai pengajar adalah guru yang menguasai semua materi yang akan diajarkan dengan baik.
·         Guru sebagai model dan teladan adalah  guru yang menunjukan sikap dan pribadi yang baik untuk dijadikan contoh bagi para siswanya.
·         Guru sebagai pembangkit adalah guru yang memiliki kemampuan motivator baik verbal dan nonverbal untuk meningkatkan perhatian dalam belajar.
·         Guru sebagai Pembawa cerita adalah guru yang membawakan cerita-cetita bermakna dalam selingan kelas agar menarik.

2.      Tujuh keterampilan dasar mengajar yang harus di kuasai oleh guru
·         Keterampilan bertanya adalah kemampuan bertanya yang menimbukan rasa keingin tahuan, juga merasang kemampuan berpikir dengan pertanyan-pertanyaan yang diajukan.
·         Keterampilan memberikan penguatan adalah kemampuan verbal dan nonverbal untuk memberikan pengutan pada siswa agar meningkatkan perhatian dalam belajar.
·         Keterampilan mengadakan variasi adalah kemampuan yang merujuk pada tindakan dan perbuatan guru yang disengaja atau spontan untuk memacu dan meningkatan perhatian siswa selama pelajaran berlangsung.
·         Keterampilan menjelaskan adalah kemampuan penyajian informasi secara lisan yang disampaikan secara sistematik untuk menunjukan adanya hubungan satu dengan yang lain.
·         Keterampilan membuka dan menutup pelajaran adalah kemampuan dalam menyampaikan pembukaan dan pentupan sesuai sistematik yang sudah dipelajari.
·         Keterampilan membimbing diskusi adalah kemampuan yang sama dengan menjelaskan tetapi dengan bimbingan untuk kelompok.
·         Keterampilan mengelola kelas adalah kemampuan untuk menciptakan dan memelihara yang optimal dan membalikan ketika terjadi gangguan dalam proses belajar mengajar.

3.      Aspek dan indikator kompetensi pedagogik
·         Menguasai karakteristik peserta didik
·         Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik
·         Pengembangan kurikulum
·         Kegiatan pembelajaran yang mendidik
·         Pengembangan potensi peserta didik
·         Komunikasi dengan peserta didik
·         Penilaian dan evaluasi

4.      A. Apresepsi adalah menerima tanggapan-tanggapan baru dengan bantuan baru dengan bantuan tanggapan yang telah ada.
B. Dua cara yang dapat dilakukan guru dalam apresepsi :
·         Pada saat pembukaan guru membuka kelas dengan cara mengaitkan topik terkini dengan tanggapan-tanggapan para ahli yang nanti akan menyampung pada pelajaran.
·         Dengan cara mengajukan petanyaan-pertanyaan yang akan berujung jawaban dengan tanggapan baru yag memiliki rujukan pada tanggapan yang sudah ada.

5.      A. Refleksi pembelajaran adalah sebuah kegiatan telaah, dan interpretasi data dari hasil pelaksanaan pembelajaran untuk menenatkan atau mengevaluasi ketercapaian tujuan perbaikan pembelajaran.
B.  Tindak lanjut terhadap refleksi adalah pencarian faktor-faktor penyebab kurang berhasil pada kegiatan pembelajaran.
C.  Lima tindak lanjut: memilih dan menetapkan topic selanjutnya, menetapkan strategi yang sesuai, menyusun RPP, menyusun perangkat pembelajaran, menyusun dan memperbaiki instrument data.

6.      Ciri-ciri guru mata pelajaran geografi yang ideal adalah
·         menguasai materi-materi geografi dengan baik
·         memiliki pengalaman geografi untuk menjelaskan suatu materi dengan jelas karena pernah melihat langsung
·         dapat menjaga sikap kegeografiannya dengan kepribadian yang kuat sehingga patut dicontoh oleh siswa.

7.      Yang dilakukan guru geografi yang profesional :
·         Memiliki kemampuan kominikatif yang baik
·         Memiliki pengetahuan yang luas
·         Menguasai materi dengan baik
·         Memiliki data-data yang bisa ditunjukan pada siswa
·         Memiliki pemutakhiran(update) ilmu geografi.

Tappei Cemburu

Hai, Miiko milik Ono Eriko
Tappei Cemburu
"Miiko bagaimana dengan tugas matematika minggu kemarin? Besok harus dikumpulkan lho…" Mari-chan memasukan bukunya kedalam tas, rambutnya akhir-akhir ini selalu di penuhi jepit yang manis.
"Ah itu…" Miiko tidak tahu harus bilang apa karena dia saja baru ingat saat Mari-chan bilang, "hahaha aku belum mengerjakannya." sebenarnya Miiko ingin menjawab dengan nada santai tapi justru terdengar sekali dipaksakan.
"Miiko…" suaranya terdengar familiar ditelingga keduanya tapi nadanya sangat asing bagi…
"Yuuko!" wajah Miiko dan Mari langsung berubah ketakutan dengan bentuk yang aneh, "Ayo kerjakan PR di rumahmu." Lanjut Yuuko dengan nada lembutnya seperti biasa.
Diujung kelas Kenta selalu memperhatikan gerak-gerik Yuuko dan memang kadang jika marah pacarnya itu menyeramkan, "Yuuko seram sekali." Tappei seolah menyuarakan pikiran Kenta.
"Ya, tapi dia tetap cantik." Tappei langsung berwajah jelek mendengar komentar Kenta, "Hei, Tappei kapan kau bilang suka pada Yamada?" tanya Kenta entah angin apa yang membawanya bertanya hal yang sangat sensitif bagi sahabatnya itu.
"Apa mak–" Tappei hendak berkilah ketika Yoshida datang mendekati Miiko.
Ketiga sahabat Miiko, Mari dan Yuuko saat itu sedang mendiskusikan dimana mereka akan belajar karena hari ini Yuka datang berkunjung dan tentu saja Miiko tidak boleh mengganggunya, sedangakan Mari hari ini ia akan pergi sekeluarga mengunjungi neneknya yang sakit dan rumah Yuuko terlalu sempit dan akan sulit karena adik-adik Yuuko yang masih kecil-kecil.
"Bagaimana jika aku saja yang mengajarkan Yamada? Hari ini kebetulan aku libur les." Tawar Yoshida dengan penuh harap.
"WAH! Kalau begitu kami juga boleh ikut?" entah kenapa Tappei langsung datang dan meminta ikut juga, "Ya kan, Kenta?" karena dari tadi tidak ada persetujuan akhirnya Tappei menanyai pendapat sahabatnya itu.
"Ah, maaf hari ini aku harus membantu menjaga toko karena ibuku pergi." jawab Kenta menggaruk kepalanya.
"Sebaiknya aku ikut membantu Kenta." tawar Yuuko seolah lupa pada Miiko.
"Yah jadi makin sedikit jadi tidak ramai tapi tidak apa-apa aku akan serius mengerjakan PR matematika-ku ya kan, Tappei, Yoshida." keduanya hanya saling berwajah jelek.
Perjalanan ke rumah Yoshida, Miiko sering sekali adu mulut dengan Tappei dari mulai tentang kue dango sampai pipis di celana. Sebenarnya Tappei merasa tidak enak ikut ke rumah Yoshida tanpa di tawari tapi apa boleh buat dia sudah terlanjur bilang ikut.
"Tappei, memangnya kau belum mengerjakan PR matematika?" tanya Yoshida sedikit kesal karena menganggap Tappei adalah sainganidak bias terberatnya.
"Baru ku kerjakan setengahnya sih." jawab Tappei menyilangkan tangannya di belakang kepala.
"Yoshida pasti senang libur dari tempat les tapi justru harus mengajari kami PR matematika untuk besok." Miiko menunduk memikirkan Yoshida pasti ingin bermalas-malasan seperti dia.
"Ti-tidak justru aku senang bias bersama Yamada." jawab Yoshida spontan dengan wajah yang merah.
"Wah terimakasih Yoshida. Ayo kita kerjakan PR dengan semangat agar cepat selesai, kau pasti ingin bermalas-malasan kan Yoshida?" Miiko melangkah dengan penuh semangat berjalan didepan sambil bersenandung lagu anime yang muncul tiap sore di teve.
"Apa kau menyukai Yamada?" tanya Yoshida tiba-tida membuat Tappei kaget dan tidak bias konsentrasi saat berlajar sehingga terlihat sangat bodoh.
.
.
.
"Yoshida memang pintar dan baik ya." Miiko berjalan di depan setelah selesai mengerjakan PR di rumah Yoshida, "Dia mau membantu kita mengerjakan PR di rumahnya, the buatannya juga enak sekali."
"KENAPA KAU TIDAK PACARAN SAJA DENGAN YOSHIDA" tanpa sadar ia berteriak keras sekali sampai napasnya habis.
"Kenapa kau marah Tappei?" tanpa menjawab Tappei langsung berlari duluan meninggalkan Miiko yang masih kaget karena diteriaki tiba-tiba.
Miiko terus berjalan sambil memikirkan apa salahnya sehingga membuat Tappei marah. Tanpa sadar ia melewati rumah dengan anjing yang selalu menyalaki orang yang lewat, dia langsung lari kaget dan ketakutan. Saat sampai di rumahnya ternyata Yuka masih ada sedang meminum the dengan Mamoru dan Momo.
"Kenapa tampangmu begitu?" sapa Mamoru melihat wajah kakaknya yang kusut.
"Entahlah aku habis mengerjakan PR matematika di rumah Yoshida dengan Tappei saat pulang tiba-tiba dia marah begitu saja dan lari meninggalkan ku." Miiko benar-benar bingun dan tidak mengerti.
"Memang apa yang kau katakan sebelum dia marah." Mamoru bertanya sambil kesal karena Miiko melemparkan tasnya sembarangan.
"Aku bilang Yoshida itu baik sekali mau mengajari ku dan Tappei." Miiko meuangkan tehnya pada cangkir untuk bergabung.
"Mungkin Tappei cemburu," Yuka menjawab dengan wajah yang merah, "Mamoru juga seperti itu kalau cemburu."
"Kenapa dia cemburu?" tanya Miiko membuat semuanya jatuh terjengkang kecuali Momo.
"Karena dia menyukaimu." jawab Mamoru jengkel karena kakaknya bodoh sekali.
.
.
.
Paginya PR matematika Miiko sudah selesai tapi perasaannya masih terganggu dengan omongan Mamoru tadi sore. "Karena dia menyukaimu." wajah Miiko langsung memanas mendengarnya. Miiko berjalan masuk kedalam gerbang sekolah, Tappei sedang terus diapit oleh Miho.
"Geez! Pagi-pagi mereka membuat jengkel." piker Miiko.
Tappei melihat saat Miiko mendekat karena masih teringat kejadian kemarin dia membuang muka, tindakan kecil yang membuat percaya diri Miho bertambah 200x lipat.
"Dasar Tappei suka marah-marah tidak jelas!" kini Miiko yang berteriak pada Tappei membuat semua orang menoleh padanya dan kemudian dia berlari masuk ke gedung sekolah.
"Ada apa dengan Yamada?" tanya Miho memasang wajah tanpa dosanya.
"Hai, Tappei kau membuat Yamada marah pagi-pagi begini." sapa Kenta dari belakang.
"A-aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba teriak." Tappei yang tadinya marah pada Miiko kini terbalik heran.
"Tentu saja karena dia cemburu pada-mu." wajah Tappei langsung merah.
"Tanimura tolong lepaskan aku panas." Tappei sedikit memaksa Miho yang memeluk lengannya sedikit kuat.
.
.
.
Jam istirahat berbunyi membuat semuanya senang karena makanan hari ini mendapat double pudding. Miiko membawa piringnya menuju Mari dan Yuuko yang sudah duduk duluan. Tanpa dia sadari Tappei mengikutinya dari belakang.
"Yamada," sapanya sebelum Miiko duduk, "maafkan aku kemarin telah berteriak pada-mu." wajah Mari dan Yuuko langsung memerah mendengar pengakuan Tappei yang paling berani selama ini.
"Ah, kalau begitu maafkan aku juga kerena berteriak padamu dan Miho tadi pagi." Miiko samapi beruap saking malunya meminta maaf depan banyak orang.
"Kalau begitu ini pudding untukmu." Tappei memberikan salah satu pudingnya untuk Miiko.
"Terimakasih…" jawab Miiko senang, "kalau begitu ini tumis paprika-ku untuk mu saja."
"MIIIIIIIIIIIKO!"
Tamat

Sebuah Akhir, Bab 2

Original character by Masashi Kishimoto
Mereka menemukan tempat itu dan dirinya masing-masing tanpa sengaja hanya langkah takdir yang membimbing, mengurut benang takdir berwarna merah. Suara deru kendara menghiasi pertemuan mereka ditengah kepadatan orang berlalu-lalang dengan sibuk tidak mempedulikan apapun selain diri mereka sendiri. Mata biru kedua remaja yang saling pandang saat ini dan saat nanti.
Sebuah Akhir
Dering bel sekolah berseru nyaring dari seluruh koridor, hampir sebagian penghuni kelas selalu menyambut bahagia setiap harinya karena pelajaran-pelajaran menjemukan yang ada diakhir kelas. Dengan setengah sadar sayup-sayup laki-laki dengan rambut kuning itu mengangkat kepalanya yang sejak tadi menempel di permukaan meja yang keras dengan ditutupi buku sejarah yang sengaja ia berdirikan agar wajahnya tidak terlihat.
Hanya tinggal beberapa orang saja yang masih sibuk dalam kelas, segera pemuda itu membereskan barang-barangnya. Ia tidak mau menjadi bulan-bulanan pengurus kelas untuk piket. Sebelum keluar sempat mata birunya melirik tajam mengawasi gadis cantik dengan rambut paling manis menurutnya.
"Naruto kau harus piket hari ini!" seru salah seorang temannya yang juga piket hari itu.
"Aku sedang banyak urusan!" dia melambaikan tangan dan senyum terlebarnya tujuan sebenarnya untuk Gadis yangsedang duduk diatas meja sambil mengobrol dengan teman-temanya.
"Naruto!" teriakan jengkel terdengar sampai keluar kelas.
Naruto itu berjalan melewati dua pintu kelas sampai akhirnya ia sampai di ambang pintu melihat sahabatnya sedang duduk dan seorang gadis berdiri dihadapannya sambil membawa kotak coklat. Naruto sengaja untuk tidak segera masuk kedalam kelas itu memberikan sedikit waktu pada gadis polos yang sedang berusaha mendapatkan hati pangeran sekolah.
Baru beberapa saat Naruto menunggu gadis itu keluar sambil berlari dengan wajah yang memerah tapi memancarkan kekecewaan yang sangat. Naruto masuk mendapati kotak coklat di meja sahabatnya tanpa disentuh sedikitpun sejak gadis itu memberikannya.
"Kau harus menghargainya sedikit, Sasuke. Dia membuatkannya coklat itu sampai dapur rumahnya meledak." candanya menarik kotak coklat itu dan membukannya, "apa kau benar-benar gay seperti gosip yang beredar?" ia kembali bicara dengan mulut yang penuh dengan coklat.
"Hn, aku hanya tidak suka mereka." jawab pemuda itu berdiri dari duduknya dan merebut kotak coklatnya, "aku rasa coklat ini dia beli di toko, bukan dia buat sendiri." jarinya menunjukan merek coklat ternama yang tercetak pada permukaan coklat.
"Pantas rasanya profesional..." jawab Naruto yang binggung sendiri karena kosa kata barunya, "rasa profesional?" lagi ia menanyakan pada dirinya sendiri.
"Cepat lah aku ingin kau lihat siapa yang telah membuat mereka semua ditolak." Sasuke melangkah keluar kelas dengan gaya dinginnya yang membuat rasa penasaan pada Naruto.
Mereka menyusuri rute jalan pulang mereka seperti biasa, tidak ada yang aneh dengan sikap Sauke tapi ia tetap bersabar menunggu gadis seperti apa yang pangeran sekolah ini sukai. Dengan tiba-tiba Sasuke menghentikan jalannya membuat Naruto juga ikut berhenti dengan sigap karena kewaspadaannya saat itu. tapi sejauh matanya dapat melihat hanya ada satu gadis dengan rambut pirang yang diikat tinggi memakai seragam sekolah khusus putri.
Sekolah yang berisi banyak putri para pejabat dan pengusaha yang bertata krama dan kepribadian yang baik, sekolah itu memiliki lahan yang cukup luas dengan asramanya yang begitu mewah. Walaupun sekolah itu memiliki asrama mereka sendiri siswinya tidak diwajibkan untuk tinggal diasrama. sekolah elit yang jelas akan ada pertarungan gengsi antar siswinya membuat asrama mewah itu selalu saja dipenuhi siswi yang ingin tinggal disana.
"Apa dia orangnya?" bisik Naruto mendekati Sasuke.
"Iya." jawab pemuda itu datar, tapi Naruto tahu jantungnya begejolak sebagai laki-laki normal sama saja ketika dia memperhatikan Sakura gadis cantik berambut manis tadi.
"Dia terlihat sama saja seperti yang lain akan histeris ketika melihat mmu." komentar Naruto.
"Aku harap dia melakukan itu." Sasuke menghela napas dan mulai kembali berjalan pulang, "Dia hanya gadis dari keluarga biasa. Kau lihat tidak ada anak sekolah khusus putri yang naik kereta dengan sepatu yang mulai lusuh dan tinggal di pinggiran kota? Tapi dia berbeda, tidak tidak merasa malu dengan keadaannya yang minoritas disana. Mungkin jika gadis lain justru merasa ingin pindah secepatnya dari sana." baru kali ini Naruto mendengar Sasuke sang pangeran sekolah yang terkenal dingin itu bicara penjang lebih dari lima belas kata tentang perempuan yang dia sukai.
"Kau tahu dia?" tanya Naruto heran baru kali ini Sasuke memperhatikan perempuan sampai begitu detail.
"Ya, aku mencari tahu." keluh Sasuke seperti sedang mengakui sebuah aib.
Naruto tertawa mendengar kisah cinta pangeran sekolah yang tidak berjalan mulus karena krisis percaya diri bila dihadapan perempuan yang benar-benar dia cintai, "Kau bisa ceritakan semuanya padaku, teman. Mungkin saja sedikit mengurangi keresahan remaja yang sedikit hormonal seperti mu sekarang ini." Naruto merangkul akrab pundan Sasuke.
"Kalau aku sedikit hormonal jadi kau remaja yang sangat hormonal begitu?"
Naruto melepas rangkulannya dengan sedikit malu, karena Sasuke tahu dirinya sudah tergila-gila pada Sakura, "Yaah, dan kau sedit humoris, teman."
Ino sejauh yang dia cari tahu adalah gadis pengusaha kecil yang bertani bunga-bungaan, dia dapat bersekolah di sekolahan elit dengan setengah harga karena Beasiswa. Dia gadis yang paling mencolok jika berada di stasiun, karena jarang orang melihat seragam Sekolah khusus putri berkeliaran dari area mereka. Mereka biasanya memiliki dunia mereka sendiri tidak tahu bagai mana cara bersosialisai dengan dunia luar. Awal yang Sasuke pikirkan adalah Ino juga sama seperti mereka, tetapi anggapannya benar-benar di pukul balik saat itu.
Sasuke bangun terlalu pagi dari biasanya, walaupun banyak kendaraan mewah yang terparkir di halaman rumahnya dia memilih menaiki tranportasi umum. Layaknya anak laki-laki biasa yang tidak mau terlihat begitu menonjol dengan kekayaan orang tuanya, kecuali Naruto dia terlihat menonjol justru karena sikap bodohnya, bahkan jika mau Sasuke akan melakukan hal sama seperti sahabatnya itu jika ingin menonjol bukan dengan harta.
Dekat stasiun kereta terdapat sebuah toko permen dan mainan anak-anak yang sudah reot dan tidak menarik lagi, hebatnya toko itu tetap berjuang dan bersaing dengan super mall yang gedungnya mencakar langit. Ino gadis pirang itu tepat berjalan didepannya, rok sekolah khusus putri memang sangat mini dan glamour membuat penasaran Sasuke sebagai laki-laki remaja. Tidak dapat dibantahkan kalau Sasuke benar-benar masih remaja yang penasaran dengan segala sesuatu yang ada di tubuh perempuan karena berbeda dengan miliknya
Ino memang sedikit tidak peduli dengan keadaan sekelilingnya, tapi setidaknya ia cukup ramah bagi sang nenek penjual gulali yang terkenal tidak ramah. Walaupun sapaan gadis pirang itu tidak digubris oleh si nenek Ino benar-benar tidak peduli, ia sangat tertarik pada sang nenek dan sempat menanyakan sesuatu yang membuat nenek itu melirik tajam, Ino justru tersenyum melihat lirikan nenek itu.
"Sepertinya ia bodoh," gumam pemuda dengan nama keluarga Uchiha yang entah mengapa ikut berhenti ketika gadis itu berhenti sebentar menyapa nenek penjual gulali.
Ino meneruskan kembali perjalanannya sebelum ia terlambat. Sempat Sasuke melihat wajah memerah seorang nenek yang selalu terlihat marah ketika dirinya melewati nenek yang kegiatan menyapunya sedikit terusik.
"Apa yang gadis itu bicarakan tadi?" tanya Sasuke mengalahkan rasa penasarannya.
Sang nenek tersenyum dengan hati yang mengembang, "Tadi dia bilang, pemuda yang ada di belakangnya pasti mirip dengan suamiku dulu, tapi sayang dia sudah menyukainya makannya aku jangan merebutmu darinya." Nenek itu menghela napas sedikit jengkel, "lagi pula aku sudah tidak tertarik untuk menikah lagi." Keluhnya.
Sasuke tersenyum melihat Ino yang menghibur sang nenek dengan candaan yang mengada-ada, karena dia belum menyukainya saat gadis itu berkata demikian tapi sekaranglah dia betul-betul kembali melihat jalannya sebuah angin berhembus membisikan sesuatu yang mengecewakan.
"Lalu usaha apa yang kau lakukan teman?" tanya Naruto dengan mulut penuh isi.
"Hanya mencari tahu saja." sahut sang pemilik rumah yang makanannya habis dijarah oleh si pirang-tidak-tahu-diri, beruntung lemarinya selalu terisi penuh kembali dalam jentikan jari.
"Hanya itu? cobalah menatapnya dalam saat bertemu, seperti aku." sombong Naruto yang usahanya cintanya selalu gagal.
Sasuke tersenyum mengingat apa yang ia lihat pagi itu. Ino menoleh kesana-kemari seolah mencari sesuatu dan tatapannya berhenti kearah kanan. Binar matanya berubah, mata Sasuke mengikuti arah mata gadis itu. Hanya ada beberapa orang karyawan yang biasa menunggu kereta paling pagi. Beberapa lama kereta datang dan para karyawan itu masuk meninggalkan seorang pemuda berseragam sama dengannya. Mata gadis itu menatap padanya, seorang teman sekelasnya yang selalu tidur berambut nanas dan meraih ranking paling atas diatas dirinya.
"Dia menyukai orang lain," Sasuke sedit menghela napas, "ini sangat memalukan."
"Haah... cinta itu memalukan." ujar Naruto sambil merebahkan diri ke tempat tidur, ekspresi wajahnya sangat mengundang sepatu melayang kearahnya.
"Bagaimana dengan Sakura?" tidak biasanya Sasuke akan bertanya lebih dulu.
"Aku baru saja mengirim e-mail padanya, kami akan kencan hari Minggu nanti, kau mau ikut?"
"Tidak."
"Bagus!" sorak Naruto bahagia, yang ditatap oleh sahabatnya heran, "Dia menyuruhku mengajakmu." kalimat itu sangat menggangu Sasuke, dia tahu Sakura tidak tulus dengan Naruto ada yang gadis itu inginkan dari pemuda polos dengan hati menggebu-gebu itu.
"Baiklah aku ikut." penarikan Sasuke atas penyataannya tadi justru memancing tawa saat melihat ekspresi Naruto dengan roh diatas kepalanya.
Hari Minggu yang dinantikan, Sasuke dan Naruto sudah datang lebih awal. Sasuke sempat memprotes tindakan berlebihan ini, ia tidak suka melihat Naruto yang terlalu tergila-gila ini. Sasuke takut Naruto hanya dijadikan boneka atau pesuruh, baginya pria hanya mencintai perempuan 10% paling banyak adalah 20% saja, sisanya setelah gadis itu benar-benar menjadi wanita sejati. Dia memang didikan Uchiha yang berharga diri tinggi, sedangkan Naruto tidak memperdulikan hal itu baginya itu hanya untuk Sasuke saja bukan untuk dirinya.
Rambut indah Sakura yang selalu menyilaukan matanya sejak kecil, tanpa sadar atau karena takdir mereka selalu satu kelas sejak SD kelas lima. Itu yang selalu membuat Naruto melihatnya setiap hari dan menambahkan tingkat kegilaan dirinya. Dalam hati kecilnya Si pirang berantakan itu sadar Sakura menyukai orang lain saat pertama masuk SMA, mata hijau indahnya selalu melihat Sasuke. Naruto tahu ia akan sakit hati setidaknya untuk sekarang ia akan menikmati kesenangannya dulu sebelum rasa sakit itu datang dan dairinya pergi untuk beberapa lama. Lagi pula tidak ada alasan bagi Sasuke menolaknya, Sakura tidak suka mengganggunya seperti gadis-gadis lain kecuali satu alasan yaitu dia.
Sakura datang lima belas menit sebelum waktu janjian mereka tapi Naruto yang terlampau bersemangat menyeret Sasuke tiga puluh menit sebelum waktu janjian. Sakura sedikit kaget melihat kedua laki-laki itu sudah berada di sekitar loket masuk arena taman bermain. Bagi Sasuke sedikit tenang setidaknya ia tidak harus menunggu lama.
Mereka masuk beriringan Sasuke sengaja tidak memberikan kesempatan pada Sakura berjalan disampingnya, ia lebih memilih Naruto berjalan ditengah mereka. Obrolan mereka kesana-kemari dengan sesekali mengajaknya berbicara dengan, "Bukan begitu, Sasuke?" yang harus dijawabnya iya atau tidak sesuai alur pembicaraan mereka, ia malas berargumen jika jawab yang keluar dari mulutnya berbeda.
Sebelum menaiki wahana apapun Naruto menawarkan membelikan jus untuk Sakura, ia tidak mau membelikan untuk Sasuke yang dari tadi hanya diam saja yang malah menjadi menggangu daripada ikut bicara. Nauto meningglakan mereka berdua.
Sasuke menatapnya penuh penilaian, pandangan dingin yang justru membuat para gadis tergila-gila. Pandangan dingin Sasuke membuat suasana tidak nyaman beberapa lama dan akhirnya memberanikan diri Sakuran berjalan lebih dekat dihadapan Sasuke.
"A-aku menyukaimu dari awal," Sakura tertunduk malu tapi suaranya cukup terdengar.
"Kau tega menggunakan Naruto untuk ini?" Sasuke sinis meninggalkan gadis yag kebingungan itu.
"Tunggu!" teriaknya lantang, "aku tidak mengerti?"
"Kau tega menggunakan Naruto untuk mendekatiku?" tatapan Sasuke terlihat lebih tajam dan dingin.
"Maksudmu? Aku tidak pernah melakukan itu, Aku dan Naruto kenal sejak kecil dan dia tahu aku menyukaimu, hari ini dia mengajakku pergi untuk bertemu dengan mu." wajah Sakura memerah karena malu diperhatikan banyak orang.
Apa yang Naruto lakukan demi orang yang digilainya ini membuat Sasuke bingung, tangannya menarik gadis itu tegas menduga Naruto tidak akan kembali setelah membeli jus, "Kita bicarakan ini baik-baik."
"Pak, jus jeruk dua gelas..." pinta Naruto senang.
"Wah kebetulan sekali, hari ini begitu ramai sekarang hanya tersisa dua gelas saja."
Pria yang hampir setengah baya itu memberikan minumannya. Naruto memberikan dua lembar uang dan beberapa koin. Baru beberapa langkah ia pergi meninggalkan kedai jus seorang gadis datang meninta satu gelas dan suah habis. Sekilas Naruto menoleh dan merasa kenal pada gadis yang kecewa karena jusnya sudah habis.
Matanya terasa perih seperti ditetesi air garam, Sakura sedang berbicara dengan Sasuke. Tapi ia tahu apa yang mereka bicarakan membuat langkahnya terhenti, ia ingat janjinya pada Sakura untuk mendekatkannya pada Sasuke. Ada satu rahasia yang ia simpan dihadapan Sasuke, Sakura bukan sekedar teman kecil yang ia cintai tapi juga sahabatnya sama seperti halnya Sasuke sendiri. Naruto memutar balik langkahnya berpapasan dengan gadis pirang yang kehabisan jus tadi.
"Hei, kau!" panggil Naruto tidak tahu namanya.
"Aku?" tanya gadis pirang yang merasa dirinya yang dipanggil.
"Ini untukmu." Naruto tersenyum lebar memberikan satu gelasnya pada gadis yang sedikit heran itu.
"Terimakasih ya!"teriak gadis itu mengetahui Naruto berjalan menuju pintu keluar.
Mereka datang mengurut benang takdir berwarna merah yang diikatkan sembarangan oleh sang dewa takdir. Tidak ada yang bisa memutuskan ikatan sang dewa termasuk dewa itu sekalipun.
Naruto menerima banyak e-mail dari Sasuke isinya semua adalah permintaan maaf karena ia sebentar lagi akan menikah dengan Sakura, ia tidak menyangka Sasuke akan mengingat terus masa lalu yang sebernanarnya sudah lama ia lupakan. Sasuke mencantumkan nomor telepon pada e-mailnya berharap akan bertemu lagi dengan sahabat lamanya itu.
Naruto menekan nomor yang tertera tanpa rasa lagi pula ia sudah lupa bagaimana rasa sakit yang timbul waktu itu, terdengan bunyi tut-tut beberapa kali sebelum sebuah suara halus yang sedikit serak berkatra 'Hallo?'
Naruto mengenali suara itu walaupun sudah sangat lama baginya, "Sakura?" katanya pelan, "Ini aku Naruto,"
"Naruto?" teriak wanita itu diujung telepon, "kau tidak pernah membicarakan apapun tentang kepindahanmu, bodoh!" ia tetap saj berteriak.
Terdengar suara orang lain dan mereka sempat berbincang sejenak sebelum suara 'Hallo' terdengar lagi tetapi lebih berat, "Naruto?"
"Iya, ini aku. Apa kau mau mengundangku kepernikahan kalian?" tawar Naruto yang berharap bisa bertemu mereka lagi.
"Tentu saja, kami akan merayakannya bulan depan dihotel milik ayahku, kau ini kemana saja?" baru kali ini Naruto mendenga nada bersemangat Sasuke, "hei, bodoh! Seharusnya aku yang marah karena kau tahukan..." Sasuke terdengar sedikit ragu meneruskan kalimatnya, benar, Naruto tahu Sasuke sudah menyukai gadis lain tapi bukankan ia telah mempermudah dewa takdir mengikatkan mereka berdua.
"Ah, aku ada urusan sebentar daaaah..."
Naruto sengaja mematikan teleponnya, berlama-lama menelepon mereka membuatnya teringat rasa yang dulu pernah dia alami. Ia meletakan telepon genggamnya dan pergi mengambil kunci mobil. Tidak tahu dirinya akan pergi kemana, sudah hampir dua bulan ia kembali ke Jepang. Baru kali ini ia berjalan sejauh ini dengan mobil setelah beberapa bulan kecelakaan lalu-lintas yang membuat tangan kanannya patah, karena terasa nyeri ia menepikan mobilnya. Melihat sepanjang jalan yang ia lalui sebelah kanannya banyak sekali rumput ilalang yang tinggi membuat penasaran apa yang ada dibaliknya.
Kakinya melompati pagar pembatas jalan dan mulai menerobos ilalang-ilalang itu. sampai akhirnya ia tidak tahu kemana ia tuju, sebelum berbalik arah Mata biru cerahnya menemukan sebuah pohon beringin tua yang rindang, dibawah beringin itu hanya derdapat rumput-rumput pendek yang nyaman untuk diduduki. Pohon beringin itu seolah terisolasi dari duani luarnya dengan rumput ilalang yang menjulang menutupinya.
Naruto bersandar menikmati bahwa dirinya sekarang benar-benar bebas. Tanpa ponsel dan panggilan-panggilan kantor yang memuakan. Angin semilir membuatnya terbuai dan terlelap, sampai ketika ia membuka matanya sesosok wanita datang dengan mata birunya yang sedikit lebih gelap darinya. Perasaan yang familiar dari wajah dan rambut itu terus memutar memori Naruto mencari dimana ia telah melihatnya.
Perjalan Takdir belum berhenti
The End

Sebuah Akhir, Bab 1

Original character by Masashi Kishimoto
Pertemuan di sebuah bukit yang dikelilingi padang ilalang yang tinggi membuat tempat itu terasa begitu asing. Mereka menemukan tempat itu dan dirinya masing-masing tanpa sengaja hanya langkah takdir yang membimbing, mengurut benang takdir berwarna merah. dewa takdir memang tidak pernah terduga sebelumnya. Dengan ke empat mata biru yang yang saling menatap dan membaca isi hati, suara angin menerpa ilalang-ilalang membuat musik kerinduan dan mencinptakan sebuah kenangan dalam benak kedua insan tuhan itu.
Sebuah Akhir
Hari ini terlalu banyak mobil mewah terparkir di halaman kantornya, mungkin sedang banyak kolega-kolega besar perusahaan tersebut yang sedang berkunjung atau rapat di dalam sana. Gadis itu berbelok sedikit menghampiri pos satpam yang sedang sibuk mengawasi semua aktivitas, rupanya benar tamu-tamu ini adalah orang-orang penting di dunia bisnis. Setelah puas mencari tahu ia kembali berjalan masuk kedalam gedung pencakar langit itu. ia hanya karyawan biasa dengan jabatan yang tidak terlalu tinggi dan prestasi yang tidak terlalu menonjol.
Setiap hari ia melihat orang-orang dengan usia yang masih muda bersaing dengan usia yang sudah tidak muda untuk mendapatkan pujian dari atasan dan yang lainnya. Dia bekerja cukup keras tapi tidak jika dibandingkan dengan orang-orang yang haus pujian di sekelilingnya. Layaknya wanita ia senang bergosip tapi hanya beberapa saja diantara teman-temannya yang menyukai kegiatan itu. Mereka sering mengejeknya karena prestasi yang kurang baik, tapi ini hidupnya sampai suatu hari seseorang merenggut kebahagiaan miliknya.
"Ino, kau belum mengerjakan laporan minggu lalu." keluh teman sebelah mejanya.
"Oh, laporan itu?" Ino kembali memoles wajahnya dengan bedak.
"Apa maksudmu dengan laporan itu?" temannya berambut merah muda langsung naik pitam melihat tingkah laku Ino yang santai.
"Kau sedang PMS, Sakura?"
"Ino, mereka sering membicarakanmu masalah prestasi pekerjaanmu yang kurang baik."
"Lalu kenapa? Bukankah dipecat lebih baik daripada mengundurkan diri. Jika dipecat nanti aku akan dapat pesangon sesuai kontrak masa kerjaku."
"Aku harap." Sakura membenahi lagi file-file yang akan ia berikan pada atasannya.
Baru setelah Sakura pergi Ino membuka komputernya dan menjalankan beberapa program, ia mengerjakan laporanya dengan cepat kemudian pergi keluar ruangan yang dipenuhi sekat-sekat setinggi dada tanpa peduli bisikan-bisikan pedas yang sampai ke telinganya.
Ia sangat ingin bebas dari rutinitas membosankan ini tapi ia terlalu takut masalah keuangan yang pasti akan melilitnya ketika ia sudah mengundurkan diri, walaupun sebuah ladang bunga menantinya di desa kelahiranya tapi rasa kepuasan dirinya tidak terpuaskan jika itu bukan hasil keringatnya sendir. Rasanya menjengkelkan sekali mengingat dulu ia pernah terpilih menjadi karyawan teladan, Ino pernah merasa sangat berambisi tapi itu semua sudah ia lupakan ketika seseorang menfitnahnya.
Kabar bahwa ia adalah wanita jalang yang menjual tubuhnya kepada atasannya muncul tanpa tahu siapa yang menyebarkan, bahkan Sakura sendiri sampai percaya bahwa Ino seperti itu. justru yang ada adalah pelecehan seksual yang dilakukan atasannya yang dulu. Ino yang saat itu mempertahankan reputasinya sebagai karyawan teladan mencoba menerangkan apa yang terjadi tapi berita itu terlanjur meluas. Kini ia menjadi wanita yang sedikit angkuh agar tidak ada laki-laki yang berani mendekatinya, karena setelah berita bohong itu meluas pelecehan semakin menjadi-jadi bahkan bukan dari atasannya saja melainkan dari teman-temannya juga.
Tiga bulan kemudian atasannya dipensiunkan dan jabatan yang kosong itu diisi dengan putra pemilik perusaahan itu sendiri. Semuanya tahu perusahaan itu milik Uchiha, keluarga ningrat yang dingin mereka dikaruniai dua orang putra yang jenius. Dan yang mengisi jabatan kosong di kantornya adalah sang bungsu Uchiha Sasuke. Ino sedikit senang karena ada satu orang yang tidak menganggapnya wanita jalang karena Sasuke belum tahu tentang berita bohong itu. semoga saja tidak untuk selama-lamanya biarpu itu mustahil.
"Ino!" panggil suara dingin dari ujung koridor yang masih sepi karena belum datang waktu makan siang, "bisa bantu aku?" entah dari mana atasannya itu mengetahui namanya, sedangkan prestasinya yang sedang-sedang saja tidak memungkinkan seorang atasan tinggi seperti dia mengingat namanya.
"Baiklah."
Tapi Ino melupakan pertanyaan besar yang baru saja lewat dalam pikirannya, rasanya ia terlalu senang pada orang yang tidak menganggapnya wanita jalang di kantor itu. Rasanya pun atasannya itu tidak sedingin kelihatannya, dia sibuk mencari beberapa arsip dari rak-rak berdebu sedangkan Ino hanya membereskan arsip-arsip yang telah Sasuke pilih. Mereka keluar dari ruang arsip saat jam makan siang koridor sudah ramai denngan karyawan yang berlalu-lalang. Keramaian itu langsung terhenti ketika Ino dan Sasuke keluar bersamaan dari ruang arsip. Mereka yang masih menyegani Sasuke tersenyum kikuk sambil menyapa tapi setelahnya mereka langsung berbisik-bisik sambil melirik sinis ke arah Ino terutama para wanita yang sudah memoleh wajahnya dengan bedak setebal mungkin untuk memikat atasannya itu. Mereka masuk ke dalam ruangan direktur milik Sasuke ia langsung duduk dam memerintahkan Ino menaruh arsip-arsip itu di mejanya.
"Tunggu dulu Ino," cegah Sasuke ketika Ino hendak keluar dari ruangan itu, "mengapa reputasimu begitu jelek sekarang?" tanya Sasuke dengan nada bicara yang seolah teman lama.
Ino sedikit kebingungan menanggapi pertanyaan atasannya itu, "Mereka hanya salah paham." Bulir keringat muncul di dahi Ino, ia sungguh tidak ingin atasannya itu tahu berita apa yang menyebar nantinya.
Sasuke menyipitkan matanya pada Ino, "Baiklah kau boleh pergi."
Ino keluar dengan perasaan heran dan bercampur baur dengan perasaan lain. Rasanya ia pernah melihat wajah Sasuke dulu tapi ia sudah lupa dan akhirnya ia menyimpulkan bahwa dia bertemu Sasuke baru saja. Baru berjalan beberapa langkah meninggalkan ruangan atasannya Sasuke, Ino melihat Sakura yang berjalan terburu-buru menghampirinya. Wajahnya memancarkan rasa ketidak percayaan sekaligus kecewa yang begitu mendalam. Wanita berambut manis itu sempat diam sejenak di hadapan Ino dan kemudian melanjutkan jalannya sambil menyenggol keras bahu Ino, Sakura masuk kedalam ruangan Sasuke dengan membanting pintu ketika menutupnya. Ino hanya mengangkat bahu dan kembali ke tujuan awalnya makan siang.
"Dia benar-benar tidak tahu diri ya?" bisik seseorang yang biasa bergosip dengannya, Ino mengerenyitkan sebelah alisnya dan berbalik menghadap kedua wanita yang berbisik tadi.
"Memang ada apa?" Ino menahan semua rasa kesalnya mencoba menikmati gelarnya sekarang sebagai wanita murahan.
"Kau tidak tahu?" sahut salah seorang dari mereka sinis, "Sasuke-sama sudah akan menikah dalam waktu dekat ini?"
Ino sadar kesalah pahaman sudah menjadi makan siangnya hari ini, "Memang siapa yang akan menikah dengan dia?" Ino mulai merendahkan mereka.
"Itu masih dirahasiakan, mereka tidak suka mengumbar-ngumbarhal itu katanya." balas seorang lagi tidak kalah sinis.
"Oh begitu, itu bukan urusanku..." Ino kembali berjalan melupakan bisikan-bisikan kotor para teman kantor lelakinya.
Ia mengambil sepiring salad buah, Ino memang mencintai tubuhnya sendiri tapi bukan berarti dia akan memberikannya dengan mudah pada orang lain. Ia terlalu mencintai tubuh langsinya itu sampai sekarang ia masih menjaga kehormatannya, tidak seperti teman-temanya yang lain bahkan sampai ada yang pernah berkali-kali melakukan aborsi.
"Mereka selalu saja." dengus Ino menghabiskan makan siangnya.
Sakura tidak kembali setelah makan siang siang. Pekerjaan kembali menumpuk seperti biasanya. Sesempat mungkin Ino mengkikir kukunya terlebih dahulu baru ia mulai bekerja, entah mangapa samapai sekarang ia belum juga dipecat padahal ia sudah menerima surat peringatan beberapa kali. Sore menjelang perkerjaan Ino hampir selesai jadi ia menambah waktunya sebentar agar besok bisa lebih santai. Ketika berdiri dari bangkunya ternyata malam sudah menjelang kondisi kantor sudah sepi, Ino mengangkat tangan kirinya melihat jam tangannya pukul sembilan malam bergegas ia keluar ruangan hendak pulang. Sekilas matanya melihat barang-barang milik Sakura yang belum disentuh sejak tadi siang. Dengan niat baik Ino membereskan barang-barang temannya itu dan ingin mengantarkan ke rumahnya. Tanpa sengaja ia melihat foto di dalam lipatan dompet wanita berambut manis itu. Sasuke, Sakura dan seorang laki-laki dengan rambut kuning segar dan mata birunya yang semangat, tampaknya itu foto mereka sekolah dengan seragam sekolah menengah.
Ino memutuskan untuk membawa tas itu tapi bukan ke rumah Sakura melainkan ke ruangan Sasuke, ia sudah tidak peduli jika ada orang yang akan melihat dan gosip itu akan semakin kencang. Ia mengetuk ruangan itu sampai terdengar suara perintah untuk masuk. Sasuke tampaknya masih seperti biasa mengerjakan arsip-arsip yang tadi siang mereka cari.
"Ino?" ia heran siapa yang masuk ke dalam ruangannya saat itu, "ada apa?" dia segera menutup pekerjaannya dan mengantongi pena emas yang indah ke saku jasnya.
"Maaf pak," Ino sedikit membukuk memberi salam.
"Sasuke saja," atasannya itu berdiri mendekatinya.
"Sepertinya saya tahu anda akan menikah dengan siapa pak, tapi mengapa anda masih disini sedangkan calon istri anda sedang salah paham dengan kejadian tadi siang?" Ino menyodorkan tas berwarna merah muda milik Sakura.
Sasuke menerimanya tanpa bicara, Ino langsung pergi saat itu juga. Ino berjalan terus melangkah pulang sambil berharap temannya akan tetap menikah dan tidak terpengaruh dengan gosip murahan para karyawan kantor yang bodoh-bodoh itu.
Sampai di ambang gang ke tempat apartemenya ia berpapasan dengan tetangga kamarnya, Chouji. Sepertinya ia baru pulang dari mini market yang ada di ujung persimpangan. Mereka saling menyapa layaknya tetangga dan berjalan beriringan. Chouji menunjuk seseorang yang sedang menatap pintu kamarnya dengan mata yang bengkak.
"Sakura?" bisik Ino kaget melihat tampang temannya itu sungguh berantakan.
"Baiklah Ino aku masuk dulu." belum sempat Chouji memasukan batang kunci ke lubangnya, Sakura menyerang Ino dengan gelap mata. Mau tak mau Chouji harus melerai mereka, ia sedikit kesal karena kantong keripiknya meletus karena terinjak.
Ino kaget menerima serangan brutal Sakura pipinya berdarah bekar kuku Sakura. Tapi ia paham bagaimana perasaan seorang wanita yang sebentar lagi menikah calon suaminya berselingkuh dengan teman dekatnya. Sejujurnya ia ingin sekali menjelaskan pada Sakura apa yang terjadi, tapi jika ia menjelaskan semuanya hanya akan terdengar seperti alasan-alasan bodoh di telinga Sakura yang sedang kalap sekarang ini.
"Nona ada apa?" Chouji sedikit kewalahan menahan Sakura yang ingin melepaskan diri dan kembali menyerang Ino.
Ino tersenyum sinis dan bangkit, "Biarkan saja dia, jika kau ingin membunuhku kau akan menyesal selamanya dan akan di hantui rasa bersalah seumur hidupmu."
Bahkan bukan Chouji saja yang heran Sakura pun menjadi ikut heran mengapa Ino berkata demikian. Kamar Ino dihimpit dengan laki-laki, salah satunya adalah Chouji dan yang satunya lagi adalah seorang yang tidak jelas pekerjaannya. Laki-laki itu keluar dengan tampang kesal dengan rambutnya diikat tinggi diatas kepala seperti nanas, ia marah mendengar ribut-ribut persis di depan kamarnya.
"Ada apa ini?" serunya jengkel, "jika kalian ribut lagi, ku pastikan kalian semua yang akan mati." laki-laki itu kembali menutup pintunya keras-keras.
Pelahan Chouji melepaskan wanita yang terlihat nyaris gila di matanya. Sakura ambruk tidak bertenaga, air matanya kembali berjatuhan tidak terbendung. Ino memberi isyarat agar Chouji masuk saja yang di jawab dengan anggukan yang sedikit kesusahan karena lehernya yang besar.
"Apa kau pikir aku seperti itu?" tanya Ini berjalan mendekat, "aku kira kau percaya padaku, jika kau ingin tahu apa yang terjadi tanyakan saja pada calon suamimu itu."
"Kau!" nada suara Sakura masih terdengar geram, "Kau tidak tahu siapa dia!" teriak Sakura.
"Aku tahu dia ada dibelakangmu." Sakura tidak ingin dianggap bodoh mengikuti petunjuk Ino yang baginya adalah pengkhianat untuk menoleh ke belakang.
"Sakura..."
Esok harinya Ino resmi mengundurkan diri dan pindah dari apartemennya. Ia tidak ingin ada yang mengetahui kemana ia pindah dan hanya memberi pesan pada Chouji bahwa mereka jangan mencarinya dan berhenti penasaran dengan dirinya jika ada yang bertanya nanti.
Ia ingin kembali ke kehidupan normalnya tanpa cacian dan bisikan serta fitnah yang mengelilinginya, ia kembali ke desa dimana ia dilahirkan mengurus rumah warisan ayahnya dan ladang bunga yang waktu itu ia urus dari jauh dengan mengandalakan pengurus kebun. Sekarang ia ingin ikut terlibat, pengusaha bunga tidak rugi justru menguntungkan lebih banyak dari pada pekerjaannya dulu dan pekerjaan ini semakin istimewa karena kasih sayang para pengurus yang sudah berkerja lama dengan ayahnya begitu hangat dan ia rindukan. Ino yang awalnya merasa tidak puas dengan pekerjaan seperti ini justru jatuh cinta pada hal yang dulu sering dilakukan ayahnya saat dia kecil.
Di desa itu ia menemukan juga padang ilalang tinggi, dengan rasa penasaranya ia menerobos ilalang-ilalang tinggi itu dan akhirnya menemukan sebuah pohon beringin yang tersembunyi di baliknya, sekeliling pohon itu hanya ditumbuhi rumput-rumput pendek yang nyaman untuk diduduki. Ino mendekati pohon itu ada seseorang yang sedang tertidur lelap dibawah pohon itu, perasaan yang familiar dari wajah dan rambut itu terus memutar memori Ino mencari dimana ia telah melihatnya. Sampai pria itu membuka matanya yang berwarna biru cerah tapi memancarkan aura redup. Kedua mata biru itu saling menatap saling membaca tanpa suara, diiringi suara angin yang menyibak ilalang membuat sebuah musik alam dan menyebarkan aroma kenangan yang sulit dilupakan.

Ramuan Roh Bintang

Disclaimer by Hiro Mashima
Ramuan Roh Bintang
By Kaktus Hijau
.
.
.
Setelah kejadian lucy manusia transparan, Virgo memperbaiki ramuannya di dunia roh bintang. Semuanya orang di guild yang tidak sengaja tersiram ramuan itu juga telah kembali setelah lucy menulis nama mereka masing-masing untuk terus diingatnya. Kamar lucy pun kembali dipenuhi barang-barangnya yang sempat menghilang.
"Hari ini hampir saja aku dianggap mati oleh semua orang." Keluhnya sambil masuk dalam bak mandi.
Virgo yang tiba-tiba muncul sambil membawa banyak botol ramuan. Dia membawakan ramuan penghalus kulit yang sudah diperbaiki sehingga lucy tidak takut lagi kulitnya berubah transparan, tapi botol-botol lainnya berisi ramuan tambahan hadiah dari virgo untuknya. Ramuan sakit perut, ramuan penghangat tubuh, ramuan cinta, ramuan diare, dan ramuan perangsang. Virgo meletakan begitu saja di meja rias Lucy tanpa bilang apapun lagi dan kembali ke dunia roh bintang. Lucy yang baru saja selesai mandi kaget melihat banyak botol berada di meja riasnya.
"Astaga untuk apa ini semua?" Lucy membaca satu persatu nama ramuan itu, menurutnya ada beberapa yang berguna dan satu yang berlebihan. Ramuan perangsang, "Ini untuk siapa?" keluh lucy memandang dirinya di cermin, "Aku sudah cukup merangsang kok." Kalimat itu cukup membuat cerminnya retak.
Lucy meletakan lagi botol itu semula dan pergi berpakaian. Hari ini ia akan tidur seperti bayi mengingat setiap hari selalu ada kejadian menyenangkan di guild Fairy Tail. Setelah ia dan kawan-kawannya mati suri selama tujuh tahun kamarnya tidak ada yang berubah sama sekali dan selalu bersih namun baunya berubah menjadi bau nenek itu. Pantas saja Natsu dan Happy engan mampir kemari. Lucy mematikan lampunya dan bersiap tidur di bawah selimutnya yang hangat.
"Yo, Lucy…" sudah bukan hal aneh lagi Natsu yang tiba-tiba masuk dari jendela, hampir dia pikir Natsu tidak akan kemari lagi karena kamarnya sudah bau nenek-nenek, "kamarmu bau." Ya itu yang baru saja dia pikirkan.
"Kau masih kurang beradab Natsu," Lucy yang kesal berdiri dan menyalakan kembali lampunya, "setidaknya masuk melalui pintu dan ketuk dulu, bagaimana kalau aku sedang berganti baju?!" Natsu tampak sendiri tanpa Happy.
"Lewat jendela lebih cepat daripada lewat pintu lagipula aku tahu saat kau ganti baju karena bau semakin menguat karena tidak tertutup baju seperti kemarin saat kau transparan." tinju Lucy langsung mengenai pipi kiri Natsu.
"Mana Happy?" tanya Lucy yang tidak biasa melihat Natsu sendirian tanpa Happy.
"Dia sakit perut di gulid." jawab Natsu sambil mengunyah persedian roti Lucy.
"Aku punya obat untuknya." Lucy memberikan ramuan dari Virgo pada Natsu, "cepat berikan padanya dan jangn datang kemari lagi aku ingin tidur."
"Ah, baiklah… terimakasih Lucy." Natsu langsung melompat dari jendela.
"Akhirnya benar-benar bebas."
.
.
.
Malam itu juga Happy langsung sembuh dari sakit perutnya, ramuan yang diberikan Lucy benar-benar manjur. Mereka berdua kembali melanjutkan makan mereka secara rakus menghabiskan uang yang mereka dapat kemarin. Makan mereka sempat tertunda karena Happy sakit perut setelah semuanya selesai giliran Natsu yang sakit perut karena kekenyangan.
"Kenapa tidak minta obatnya lagi pada Lucy?" dengan itu Happy terbang kerumah Lucy dan mencuri salah satu botol ramuan miliknya dan kembali ke guild memberikan ramuan itu pada Natsu.
Setelah menengguk itu sekaligus Natsu malah langsung jatuh pingsang di guild, Mira-san yang masih melihat mereka mengijinkan mereka menginap disana. Pagi-paginya Lucy datang dengan langkah yang dihentakan keras-keras kearah guild. Salah satu botol ramuannya hilang dan itu adalah ramuan cinta. Belum ada siapa-siapa disana sepagi ini hanya ada Natsu yang tertidur sambil duduk di meja bar dan Happy sebelahnya.
"Natsu!" teriak Lucy membangunkan dragon slayer itu.
"Ada apa Lucy?" Natsu bangun dan menyapanya dengan nada yang mencurigakan.
"Kau meminum ramuan cinta itu?" Lucy mundur selangkah tanpa sengaja kakinya menyentuh botol ramuan yang sepertinya terjatuh dari meja. 'Ramuan Cinta – Akan mencintai Lucy-hime selamanya –Virgo'. Lucy menelan ludah menbacanya, "Kenapa kau meminumnya?"
Lucy menguncang-guncang pundak Natsu kesal. Natsu sebagai salah satu penyihir dragon slayer dengan mudah menangkis tangan Lucy dan menatapnya lekat. Lucy merasa aneh dengan suasana guild yang sepi ditambah Natsu yang meminum ramuan cinta aneh dari Virgo. Cengkraman tangan Natsu begitu kuat sehingga terasa sakit di lengan Lucy. Natsu mendekatkan wajahnya semakin dekat dan dekat lagi.
"Pag– HAH!" Jeritan Happy membuat Lucy selamat dari malapetaka aneh di pagi hari itu, "Ap– apa yang akan kalian lakuan tadi?"
"Happy." Natsu langsung membekap mulut Natsu dengan wajah yang bersemu merah.
"Natsu, jawab aku?!" Lucy kembali teringat tujuan datang sepagi ini ke guild.
"Tidak." Jawab Natsu seingatnya ia meminum ramuan sakit perut seperti Happy kemarin.
Lucy bingung dengan semua ini, dia yakin Natsu meminum ramuan itu sampai pemuda kekanak-kanakan ini bertindak seberani tadi. Lucy duduk di sebelah Natsu dan membuang napas keras-keras, ia harus temukan penawarnya.
"Terbukalah pintu gerbang Virgo!"
"Ya, Lucy-hime?" sesosok wanita cantik dengan pandangan lurus dengan pakaian maid dan rantai pada lengannya muncul dari kepulan asap merah muda, dia membungkuk 90 derajat.
"Kau tahu kapan efek ramuan cinta yang kau buat itu berakhir?" tanya Lucy tanpa basa-basi sambil berharap tulisan yang tertera di botol itu salah.
"Ramuan itu akan bertahan selamanya."
"Bagaimana ini? Bisakah kau membuatkan penawarnya." Virgo menganguk mengiyakan, "Yeay! Cepat buat itu, kapan ramuan penawar itu jadi?"
"Aku perlu membuatnya seharian penuh di dunia roh bintang." jawab Virgo tetap memandang lurus.
"Oh begitu, baiklah."
"Tapi ada perbedaan waktu antara dunia roh bintang dengan dunia ini, satu hari dunia roh bintang sama saja dengan tiga bulan disini." Lucy memutih mendengar informasi tersebut, selama itu ia akan sedikit kesusahan dalam menjalankan misi sedangkan Natsu, dia dan Happy adalah satu tim.
"Lucy…" Natsu memeluk lehernya dari belakang yang membuat Lucy semakin putih.
"Nat –Natsu?" Happy juga ikut meutih seperti Lucy melihat apa yang dilakuakan Natsu.
"Mungkin ada ramuan penawar yang akan mengurangi rasa cinta Natsu pada Lucy-hime, itu akan jadi besok."
"Aku setuju buatkan aku ramuan itu." Lucy bersemangat walaupun masih berada dalam pelukan Natsu.
.
.
.
Siang harinya Lucy tidak ke guild lagi dan Natsu juga ikut ke kamarnya dengan Happy. Natsu selalu menarik-narik Lucy agar terus menepel dengannya sedangkan Happy sibuk menghabiskan semua makanan di lemarinya.
"Happy jadi kau pikir ramuan yang kau berikan pada Natsu itu ramuan sakit perut seperti ramuan yang aku berikan pada Natsu?" Lucy bertanya pada Happy di atas pangkuan Natsu yang terus memeluknya tidak mau lepas.
"Iya, kukira semua ramuan yang ada di mejamu itu ramuan sakit perut."
"Sebenarnya aku sedikit beruntung kau mengambil ramuan cinta untuknya," Lucy melirik kearah meja riasnya sedangkan Happy bersemu mendengar penyataan Lucy tadi, "setidaknya dia tidak meminum ramuan perangsang itu." Happy menoleh dengan wajah yang makin memerah, 'Ramuan Perangsang – Akan selalu terangsang jika didekat Lucy-hime –Virgo'.
"Benar juga." Happy mengangguk mengiyakan, ia sulit membayangkan bagaimana Natsu dan Lucy nanti karena posisi mesra seperti ini pun sungguh tidak pernah terbayang untuk seorang Natsu.
Karena Natsu sulit untuk melepaskan Lucy jadilah Happy yang menyiapkan makanan dan minuman untuk makan siang. Lucy masih berusaha melepaskan diri dari pelukan Natsu yang sepertinya menganggap itu adalah bercanda. Natsu terus berupaya memeluk kembali Lucy yang sudah terlepas sambil tertawa geli memandang Lucy yang tampak lucu dan cantik dalam matanya. Happy hanya bisa mendesah melihat pemandangan aneh ini, paling tidak ini tidak terjadi setiap hari.
"Lucy, Natsu…" panggil Happy yang sudah selesai makan ia menghabiskan banyak ikan dan menyisakan beberapa untuk Lucy dan Natsu yang pasti lelah setelah kejar-kejaran seperti itu, "aku akan ke guild saja." merasa tidak ada gunanya dan mengganggu Happy terbang ke guild melalui jendela. Sepertinya melewati mereka sangat menghiraukan keberadaannya, pikir Happy sedih.
Lucy yang akhirnya lepas berkali-kali dari pelukan Natsu yang terus menerus menangkapnya lagi melompat ke atas tempat tidur karena terpojok. Natsu juga ikut melompat dengan wajah yang selalu gembira dan tatapan mata tang sepertinya kabur. Brak! Lucy dan Natsu tenggelam dalam kasur yang empuk dan selimut yang menutupi mereka.
"ASTAGA!" Lucy menoleh kearah pintu mendapati Erza, Gray dan Juvia dengan wajah yang bersemu. Pakaian Lucy yang tidak berlengan dan hanya melingkupi tubuhnya saja dari balik selimut terlihat seperti tidak memakai baju membuat semua berpikiran liar ditambah Natsu berada diatasnya sambil memeluknya.
"Kalian sedang apa?" tanya Erza dengan bayangan hitam rambutnya menutupi sebagian atas wajahnya.
"Er –Erza… ini bukan seperti itu." Lucy semakin di salah mengertikan oleh semuanya karena Natsu yang tidak mau menyingkir sehingga ia tidak bisa memperlihatkan bajunya yang asih lengkap.
"Juvia tidak menyangka kalian punya hubungan seperti ini." Ungkap Juvia malu sambil bersebunyi dipunggung Gray.
"Kalian tidak datang ke guild sampai sesiang ini karena kalian sedang…" geram Gray yang matanya tertutup bayangan hitam rambutnya sama seperti Erza.
"Kalian salah paham!" Lucy mencoba mendorong-dorong dada Natsu tapi juga tetap tidak bisa, "Natsu menyingkirlah!" bukan malah menyingkir kini Natsu berseringai khasnya dengan mata yang tertutup bayangan hitam rambutnya juga, "Kenapa kalian seperti ini!" teriak Lucy frustasi.
Dalam hitungan sepersekian detik Natsu mendaratkan bibirnya di bibir Lucy yang membuat semua mata membulat sempurna. Erza, Gray dan Juvia memundurkan satu langkah karena Natsu mencium Lucy dengan tidak main-main. Lucy merasakan sensasi menyenangkan dari bibirnya keseluruh tubuh, tapi dengan cepat ia berhasil mendapatkan kembali akal sehatnya dan mendorong Natsu kemudian melompat kelua dari selimut.
"Aku akan jelaskan semuanya, lihat aku masih memakai pakaianku." Ungkap Lucy panik melihat ketiga rekannya itu memutih.
"Natsu dan Lucy berciuman…" Juvia masih memutih melihat kejadian tadi dan tiba-tiba kembali berwarna dengan mata yang berapi-api, "Juvia juga harus melakukannya dengan Gray-sama." mendengar itu Gray tersadar dan melompat dari jendela menghindari Juvia yang seperti kerasukan mencoba untuk menciumnya.
"Erza, Natsu begini karena dia tanpa sengaja meminum ramuan cinta punya ku."
Erza masih memutih sambil menggumamkan anam Jellal dan tiba-tiba menangis di pojok ruangan. Sekarang giliran Lucy yang bingung dengan ketiga tingkah rekannya. Natsu meniup telinga kanan Lucy membuyarkan kebingungannya, Lucy menoleh galak mendapati Natsu yang tersenyumlebar padanya.
"Kau tahu lusa sudah tidak akan seperti ini lagi dan tiga bulan yang akan datang benar-benar akan kembali seperti semula." Lucy menyentuh pipi kiri Natsu lembut Natsupun menyambut tangan itu dan mengosokan pipinya merasakan tangan lembut Lucy.
"Kalian jangan melupakan aku." Erza sudah berdiri disamping mereka bedua.
.
Erza sudah dapat menerima kelakuan Natsu yang terus menempel pada Lucy, dia sudah mengetahui semua ceritanya tentang Natsu yang tanpa sengaja meminum ramuan cinta dari Virgo. Tanpa niat menolong Lucy dari masalah kecil menurutnya itu, Erza pamit dan kembali ke guild.
"Natsu, bisakah aku duduk sendiri di kursiku?" pinta Lucy lembut berharap Natsu melepaskannya.
"Baikalah." Jawab Natsu sedikit tidak senang.
"Kau ingin makan apa? Biar kubuatkan?" tanya Lucy yang sudah berdiri disamping Natsu baru saja terlepas dari pelukannya.
"Buatkan saja yang kau suka aku pasti memakannya." senbenarnya Lucy senang Natsu berkata seperti itu karena bahan makanan yang menipis setelah dirampok oleh Happy tadi pagi.
"Baiklah tunggu sebentar."
.
.
.
Guild Faify Tail
Semuanya heboh mendengan cerita Gray dan Juvia tentang posisi Lucy dan Natsu saat mereka temukan dikamar Lucy. Happy sedang diluar bersama Wendy dan Charle sedangkan Erza entah kemana sehingga gosip yang menyebar adalah Natsu akan segera menikah dengan Lucy.
"Apa Lucy akan Hamil?
"Seperti apa anak mereka nanti?"
"Aku ingin menjadi pendamping Natsu-nii" kata Romeo
"Kalau aku ingin menjadi pendamping Lucy." Asuka dengan polosnya berkata sambil menarik-narik kumis Master Makarov.
"Perhatian!" suara Master Makarov membahana di seluruh aula guild, "Ayo kita berpesta untuk Natsu yang akhirnya akan menikah!" kalimat itu langsung disambut sorak sorai seluruh guils sambil mengacungkan gelas bir mereka, "Sungguh tidak ku sangka anak itu akhirnya mengenal wanita juga." desah master Makarov pada Mira-san.
BRAK
Erza datang dengan Wendy, Charle dan Happy yang terheran dengan pesta di sore hari tanpa tahu perayaan apa. Mereka disambut semua orang yang menawarkan minuman pada mereka, bahkan saking mabuknya Wendy pun ditawari bir oleh salah satu anggota guild.
"Master ada apa ini?" Erza menggebrak meja bar karena kesal sulit sekali berjalan menuju bar karena orang-orang berpesta terlalu berlebihan.
"Akhirnya Natsu menemukan sebagian hidupnya." kata Master Makarov sambil menengguk birnya dengan wajah yang memerah.
"Apa Maksudmu?" Erza khawatir ada kesalah pahaman disini.
"Lucy dan Natsu akan segera menikah."
BENAR! Pikir Erza, pasti pasangan bodoh itu yang menyebarkan gosip ini. Matanya melirik tajam ke arah Juvia dan Gray. Orang yang maksud merasakan bulu kuduk mereka berdiri.
.
.
.
Natsu yang kelelahan akhirnya tertidur juga di tempat tidur Lucy, sebenarnya Lucy merasa kasihan juga karena bukan sepenuhnya salah Natsu dia tidak sengaja meminum ramuan itu. Lucy memperbaiki posisi tidurnya dan menyelimutinya dengan selimut.
"Kalau begini aku tidur dimana?" Lucy tidak rela kalau dia tidur di sofa.
"Disini saja." Natsu menarik Lucy masuk dalam selimut dan memeluknya erat.
"Kau! Kau belum tidur!" Lucy malu kalau tadi ia menyelimuti Natsu dan memperbaiki posisi tidurnya dengan lembut.
"Hehehe…." Ia memamerkan giginya yang runcing dengan tetap menutup mata, "bau Lucy sangat menyenagkan." Setelah berkata begitu dengkuran teratur detdengar dari dirinya.
"Secepat itukah ia tidur?"
.
.
.
"Lucy-hime," Virgo memang selalu tepat waktu karena saat menyuruhnya membuatkan penawar itu adalah pagi-pagi sekali, "ini ramuan pengurang rasa cinya Natsu." Lucy bangun dan menerimanya setelah itu Virgo kembali pergi untuk membuat ramua penghilangnya efek ramuan sebelumnya.
"Pagi Lucy." Natsu mengucek matanya.
"Natsu," paling tidak ia akan berhenti memeluknya terus setelah meminum ramuan ini, "Minumlah ini." Ada ra enggan dalam dirinya membiarkan Natsu meminum ramuan itu.
Natsu langsung menenguknya dengan senang hati, setelah tetes terakhir wajah Natsu langsung memerah melihat Lucy dan dirinya berada dalam satu kasur.
"Lu-lucy sebaiknya aku mandi dulu." Natsu langsung berlari ke kamar mandi sedangkan Lucy terkekeh geli melihat Natsu yang malu-malu seperti itu.
"Haah… baiklah ini jauh lebih baik aku akan membuat sarapan dulu."
Suara air yang keluar dari shower dan dentangan alat masak Lucy membuat rumahnya terasa lebih ramai dari biasanya. Natsu keluar dari kamar mandi dengan lebih segar, ia merasa tenggorokannya kering karena setelah bangun tidur belum meminum air setetes pun. Matanya sempat melihat beberapa botol indah yang berisi air berwarna-warni didalamnya. Seringainya kembali terlihat mengingat tenggorokannya yang kering.
PRANG
Lucy menjatuhkan piringnya mengetahui apa yang Natsu minum.
"TIDAAAAAAAAAAAK!"
'Ramuan Perangsang – Akan selalu terangsang jika didekat Lucy-hime –Virgo'.
END

Di Balik Sinar, Bab 4


Rio tidak menyangka Dinda akan membangunkannya secepat itu, dia marah dengan memelototi Dinda karena merasa kurang tidur. Dinda menggedigkan bahu dan menunjukan jam berapa sekarang. Jam 10. Hanya itu yang Rio lihat, tidak tahu kapan itu. Karena tidak ada sinar matahari yang masuk waktu menjadi kabur, jam tidurnya pun  menjadi tidak jelas. Sebelum tidur Rio ingat jam 11, jadi dalam pikiran panjang yang terjadi dalam kejapan mata Rio menyimpulkan ini jam 10 pagi.
“Aku kira kau mati.” kata Dinda dengan cueknya mengangkat sebagian kaosnya keatas.
“Apa yang kamu lakukan!” otomatis Rio langsung berbalik badan.
“Ada sedikit luka saat kita melompat dari mobil kemarin.” Dinda menempelkan kapas yang sudah dibalut kain kassa dengan plester disekitar pinggangnya.
“Tapi bisakah tidak didepanku?!” Rio masih membalik badan dengan kesal.
Dinda menepuk bahu Rio agar berbalik, “Memang kenapa?” tanya Dinda.
“Apa kau tidak diajari perbedaan tentang laki-laki dan perempuan?!” Rio benar-benar sudah gila menyetujui pelarian dengan gadis aneh itu.
“Ya, tentu saja.” Dinda berdiri memperlihatkan tubuhnya yang sebenarnya biasa saja kalau dilihat dari sudut mata anak laki-laki seperti Rio, “Kau punya jakun aku tidak.” Dinda menunjukan tenggorokannya, “Aku punya–”
“Oke hentikan, ini bukan pelajaran biologi.” Rio langsung memotong karena tahu kemana alur Dinda akan menunjukan bagian tubuhnya.
Dinda pergi dengan menggeleng-gelengkan kepala seolah memaklumi kelakuaan aneh Rio. Rio memijat pangkal hidungnya. Sampai kapan ia akan lari dengan Dinda, sedangkan baru sehari saja dia sudah merasa menjadi orang aneh. Dinda muncul lagi membawa makanan kaleng yang sudah dibuka.
“Makanlah.” Tanpa disuruh pun Rio pasti akan memakannya, “Kita akan keluar setelah ini. Aku sudah membereskan semuanya.”
Rio menelan makannya dengan susah payah, “Aku belum membereskan barangku.”
“Sudah ku bereskan juga.”
“Ap-apa?! Hei jangan sentuh barang orang sembarangan.” Rio berlari memeriksa ranselnya, “Kenapa kau keluarkan semua barang-barangku?” Rio merasa gila menghadapi Dinda yang semakin aneh.
“Kau membawa barang yang tidak berguna.” Jawab Dinda sambil menyuapkan sisa makanannya.
“Apanya yang tidak berguna itu semua bajuku!”
.
.
.
Rio tidak merasa yakin dengan dia berada didepan Dinda menyusuri lorong bawah tanah mencoba keluar dari persembunyian mereka. Penjelasan Dinda belum sepenuhnya selesai, Rio tetap bertanya-tanya kalau dia adalah percobaan pertama yang dihiraukan kenapa justru mereka yang dikejar.
Rio tetap berjalan dengan perasaan sebal mendengar suara dari balik punggungnya. Dinda terus-terusan mengunyah perbekalan mereka. Awalnya gadis itu bilang hanya membuka satu kaleng tapi pada akhirnya tas perbekalan mereka yang dibawa oleh Rio menjadi ringan. Pagi tadi Dinda mengeluarkan semua baju miliknya agar bisa membawa makanan lebih banyak.
Rio berbalik mendapati Dinda yang makan sambil berjalan dengan jarak yang sedikit jauh darinya. Mulutnya belepotan cokelat dan saus. Rio merinding melihat gaya makan Dinda yang apapun dimasukan kedalam mulutnya.
“Apa rasanya cokelat dengan saus?” tanya Rio melupakan rasa sebalnya dengan rasa penasaran.
“Tentu saja tidak enak.”
Rio menyesal telah bertanya dan berbalik badan lagi, ada tiga persimpangan yang terbuat dari dinding tanah dilapisi batu-batuan. Rio yang berada didepan maka dialah yang memutuskan, dia mulai mengambil jalan lurus. Seketika lehernya merasa tercekik, rupanya Dinda menarik Rio dari belakang.
“Apa?!” bentak Rio kesal.
“Kau salah jalan.” Dinda menunjukan arah kanan.
“Kalau begitu kamu didepan!”
“Nanti aku enggak bisa makan.” jawab Dinda dengan bahasa tubuh yang mempersilakan Rio jalan duluan, “Be gentle, Rio.” Rio membalas dengan tatapan membunuh.
Lorong itu bergetar diiringi suara gemuruh yang menakutkan. Rio menarik Dinda berlari secepat mungkin. Entahlah ia tidak bisa berpikir jernih tapi perasaanya berkata dia tahu jalannya dan akhirnya mereka sampai depan pintu dengan sangat cepat. Dia tidak menyangka akan sampai dengan bantuan insting bukan pikiran. Dinda sambil ikut terengah. Ternyata dia mausia juga, pikir Rio. Mereka menempelkan telinga pada papan pintu yang letaknya diatas kepala, seperti tutup peti.
“Kenapa ada getaran dan suara gemuruh?” tanya Rio bingung.
“Mereka menemukan letak rumah itu dan meledakannya dari atas sana.” Dinda mengambil botol minum dan menengguknya.
“Bagaimana ini? Jika kita keluar kita bisa tertangkap, mereka pasti ada di tempat mereka meledakan mobil kemarin.
“Tentu saja kita lari.” Jawab Dinda enteng.
“Kau pasti sudah tahu teori tidak mudah dilakukan, teman.” Rio kesal dengan nada enteng Dinda, seolah itu mudah.
“Kita lari masuk kedalam labirin lain.” kini Dinda yang bernada sebal seolah berhadapan dengan orang bodoh.
“Hei, santai kawan. Aku kan tidak tahu kalau ada labirin lain.” protes Rio.
“Kita lari masuk kedalam hutan, sekitar 200 meter kearah barat di bawah pohon akasia. Disitu ada pintu lain.”
“Baiklah dalam hitungan 3.” Rio menarik napas dalam-dalam bersiap membuka pintu, “1-2-3”
Mereka langsung menghambur keluar dan mendapati banyak lubang bekas ledakan-ledakan sekitar situ ternyata mereka beusaha meruntuhkan lorong bawah tanah yang mereka lewati tadi. Dinda langsung menarik tanggan Rio agar mengikutinya. Mereka berlari tanpa berpikir, bahkan Rio tidak sanggup memikirkan sekarang yang sedang terjadi.
Rio kaget saat Dinda mendadak berhenti. Matanya kini memfokuskan kedepan mereka, lubang-lubang yang sama seperti tempat mereka tadi. Disana berdiri om Yoga sambil menenteng senapan berburu, mulutnya disumpal cerutu seperti biasa.
“Rio keponakanku sayang.” Teriaknya melepaskan cerutu dari bibirnya.
Tanpa aba-aba Dinda menodongkan pisau kearah leher Rio, “Jangan mendekat, dasar pengkhianat!”
Rio kaget ada sebilah pisau menempel dikulit pelapis nadinya. Dia hendak protes tapi kembali menelan kata-katanya karena teriakan Dinda yang penuh emosi. Sebuah pikiran lewat untuk melepaskan hidupnya ditangan Dinda, toh dia seorang yatim-piatu dan tidak punya teman selain orang yang menodongnya sekarang.
“Silahkan saja, Dinda sayang.” kata om Yoga tenang sambil menghisap cerutunya lagi, “Dia tidak berguna lagi bagiku, asalkan kamu kembali pada om, om adalah wali sah kamu. Kamu tidak perlu bersusah payah menipu pasangan mandul itu.” mendengar kata-kat itu Rio ingin menangis meraung-raung, selama ini om Yoga yang penyayang yang selalu memperhatikannya adalah seorang brengsek pengkhianat. Om Yoga selalu tahu apa yang diinginkannya, tapi kini topengnya terbuka dengan jelas.
“Aku akan ikut om kalau om kembalikan ayahku!” Rio kaget mendengarnya, bukannya Dinda bilang dia juga yatim-piatu.
“Jangan mengujiku Dinda.” Om Yoga menggeleng-gelengkan kepalanya, “Aku ini tidak bisa berbohong kalau ayahmu masih hidup.” Rio merasakan tangan Dinda bergetar menggenggam pisaunya.
“Kalau begitu lepaskan Rio.”