Gadis itu memakai
seragam putih abu-abunya dan mulai mengancingi kemeja putihnya. Saat kecil
anak-anak lain berlomba menyampaikan cita-cita tinggi mereka ada yang ingin
menjadi presiden walaupun kemungkinannya 1 : 250 juta penduduk yang lainnya,
ada yang ingin menjadi insinyur saat itu gelar seperti itu menjadi idaman para
orang tua yang mencekoki anaknya, tapi gadis itu memiliki cita-cita menjadi
pembantu rumah tangga atau loper koran. Sang guru malah tertawa dan menyarankan
untuk mengganti cita-citanya. Gadis itu berpikir setidaknya menjadi pembantu
rumah tangga ia akan bekerja sementara yang lain tidur dan jika menjadi loper
koran setidaknya ia bangun lebih pagi sementara orang lain masih mendengkur.
Dia selalu
datang 15 menit sebelum bel sekolah berbunyi, sebuah rutinitas yang dijalaninya
lebih dari 10 tahun. Saling menyapa di gerbang depan untuk bersama menuju
kelas. Kini gadis itu menganti cita-cita kecilnya menjadi cita-cita besar tapi
tetap saja ditertawakan.
“Mau jadi apa
nanti?” tanya seorang guru saat pertemuan pertama mereka di tingkat SMA itu.
“Saya belum
menentukan,” jawab gadis itu terlihat polos dan bingung dimata yang lain, “tapi
saya akan menguasai bukan cuma negara ini tapi dunia ini.” Semua terdiam
kemudian kikik kecil terdengar dari bibir sang guru dan meledak tawa dari
teman-temannya.
Secara kultural
dia adalah perempuan, bukan hanya kultur Indonesia tapi dunia masih menganggap
wanita sebelah mata walaupun sudah ada persamaan derajat. Mendengar ada yang
salah dengan cita-citanya gadis itu berdehem untuk mengklarifikasinya.
“Setidaknya
untuk kota ini dulu.” Baru kemudian
negara ini dan dunia.
“Jadi kamu ingin
jadi walikota intinya?” tanya guru itu menahan gelinya.
“Bukan cuma walikota
yang menguasai negeri ini dan saya akan menjadi salah satu diluar itu untuk
menguasainya.” Sadar pernyataan ini bukan main-main, sang guru segera
melanjutkan ke siswa berikutnya.
Gadis itu duduk
diiringi tatapan aneh dari seluruh kelas yang tadi mentertawakannya, wajahnya
selalu tersenyum tidak tampak ambisius yang tinggi dan garis wajahnya pun
menggambarkan seperti anak-anak yang selalu ingin tau. Saat bicara ia tidak
ingin mendominasi dan kadang teman-temannya sedikit bingung dengan apa yang ia
bicarakan karena topik pembicaraannya terlalu tinggi dan teknis.
“Hai, kita bakal
sebangku kayanya sampe kenaikan nanti.” Teman sebangkunya adalah anak laki-alki
yang datang kesiangan dan tidak kebagian tempat duduk dibelakang, “Namaku Rio.”
“Namaku Dinda.”
Sebuah awal persahabatan yang akan terjalin nantinya.
.
.
Setiap pagi
kelas selalu sibuk dengan tugas yang belum dikerjakan, tapi seperti berada
di dunia berbeda meja kedua dari depan dekat pintu masuk selalu aman dari
keributan. Dinda memang mengerjakan PRnya dirumah mengerti atau tidak akan ia
kerjakan dirumah sesuai namanya Pekerjaan Rumah, sedangkan Rio selalu datang
sedetik setelah bel berbunyi tapi setidaknya tidak ada PR yang ketinggalan. PR
dinda menjadi sasaran empuk teman-temannya untuk diconteki, dia juga tidak
keberatan dengan senang hati ia memberikannya.
Tapi ketika
dinda salah mengerjakan otomatis semuanya salah kecuali Rio dia memang kurang
sedikit bergaul dengan teman-teman sekelasnya. Wajahnya halus dan ganteng
membuatnya jadi incaran sekolah, sebenarnya ia sangat ramah walaupun tidak
bergaul dengan yang lain. Teman dekat dikelasnya hanya Dinda yang kebetulan
duduk sebangku. Dan setidaknya dia adalah nomor satu dikelas diatas Dinda tentu
saja.
“PRmu sudah?”
tanya Rio yang baru datang dan kemudian dibelakangnya pak Muji masuk.
“Sudah,” jawab
Dinda tersenyum ramah, duduknya tegak sekali dengan tangan yang terlipat
didepan seperti anak TK yang siap bernyanyi di kelas.
Pelajaran
pertama adalah Kimia, sudah setengah pelajaran anak-anak sudah mulai menguap
dan malas mendengarkan. Rio sendiri asik menggambar di buku kimianya sedangkan
Dinda tetap menulis catatan di papan tulis dengan santai dan telihat gembira,
itu yang mengherankan bagi Rio sepertinya Dinda tidak memiliki rasa bosan.
“Kau nggak
bosan?” tanya Rio bosan dengan gambarnya, wajah jelek yang mirip dengan pak
Muji sekarang ada di bagian belakang buku catatan kimianya.
“Kenapa harus
bosan?” Dinda bertanya balik meletakan pulpennya dan mengganti dengan pensil
untuk menggambarkan tangan-tangan molekul yang saling ‘bergandengan’ itu
istilah yang disampaikan pak Muji.
“Aku nggak tau,
apa kau nggak merasa bosan? Bosan itu cuma perasaan yang nggak bisa dijelasin.”
Rio agak memiringkan duduknya ke Dinda.
“Perasaan itu
bisa dijelasin kok, misalnya kamu merasa senang. Kamu senang karena kemarin
kamu dapat PSP baru dari ayah kamu berkat nilai ulangan Fisikamu yang selalu
dapat 100.” Kata Dinda dengan santainya sambil terus mencatat.
Kenapa dia bisa tau?, “Aku bosan karena pak Muji hanya
menjelaskan dan mencatat saja, kitakan punya laboratorium.” Akhirnya Rio
menemukan alasannya untuk bosan.
“Tinggal satu
jam pelajaran lagi, cukup nggak ya?” tanya Dinda pada Rio yang bingung ditanya
soal apa.
“Maksudnya apa?”
“Kita ke
laboratorium,” belum sempat Rio berkata apa-apa lagi Dinda sudah mengacungkan
tangannya.
“Ya, Dinda?”
tanya pak Muji kikuk karena jarang mendapat pertanyaan.
“Kenapa kita
nggak ke laboratorium untuk percobaan atom dan molekul ini pak?” seluruh
langsung menoleh simpatik.
“Maaf Dinda
sekolah kita kekurangan alat untuk percobaan ini, kalau mau kalian bisa secara
inisiatif datang ke laboratorium jam istirahat nanti.” Setelah bilang begitu
pak Muji mulai menjelaskan lagi.
“Begitu
alasannya.” Kata Dinda dengan nada yang seolah sudah tau.
“Jadi sebenernya
kau udah tau kan?” tanya Rio yang masih kaget Dinda nggak mudah dipahami.
“Nggak juga aku
baru tau tadi kok.” Dinda tersenyum mengambil kesempatan membuka permen dalam
saku kemejanya dan memakannya, kemudian mulai mencatat lagi.
Dinda punya aura
yang bagus, walaupun aneh dan memiliki jalan pikiran yang lain teman-teman
tetap menyukainya. Dia banyak dikenal di kelas-kelas yang lain, hanya tinggal
tersenyum mereka langsung menyapanya. Dinda memiliki daya tarik yang luar
biasa, semua guru menyukainya bahkan semua orang. Berbeda dengan Rio, dia
memang ramah tapi tetap saja banyak orang yang tidak menyukainya. Hanya karena
wajahnya yang ganteng dia memiliki penggemar yang matanya selalu mengikuti
gerak-gerik Rio dan membuatnya canggung.
Bel istirahat
berdering menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan singkat, bu Fian masih
melanjutkan sedikit materinya baru kemudian meninggalkan kelas. Seluruh kelas
yang dari tadi gelisah memikirkan makanan dikantin kini tersenyum dan buru-buru
pergi ke kantin dengan teman-teman dekat mereka.
Dinda menarik
kotak bekalnya, isinya nasi, sosis goreng, capcay, dan tiga potong wortel rebus
bentuk balok diatas nasi. Rio melihatnya menjadi lapar, ia berdiri untuk ke
kantin membeli nasi bungkus.
“Kau mau?” tawar
Dinda, “Ini sisa makan malam yang dihangatkan, semuanya masih oke kok. Ibu
memasaknya sore-sore.”
Rio sebenarnya
mau tapi ia masih memikirkan apa yang dikatakan teman-teman nanti kalau mereka
makan satu bekal bersama-sama, “Kayanya aku beli aja di kantin deh.” Rio mulai
berdiri dari bangku kayunya.
“Aku bawa dua
sendok yang kebetulan rangkap saat diambil.” Dinda memberikan sendoknya pada
Rio yang dengan perasaan tak enak menerima sendok itu, “porsinya cukup besar
kok untuk berdua.”
Walaupun itu
adalah makan malam yang dihangatkan kembali tapi rasanya tidak berubah
benar-benar enak. Rio berpikir masakan bi Inah dirumah kayanya dapat pesaing
berat. Saat Rio mulai menyendok lagi dia sadar banyak tatapan mata yang tertuju
pada mereka berdua, bahkan Samsul yang baru datang dari kantin langsung
melontarkan kata ‘cie’ yang menggema sampai keluar kelas.
“Ada yang jadian
nih…” ejek Samsul sambil membuka nasi bungkusnya dikursi belakang.
“Asik PJ dooong
buat sekelas.” Rizki mulai menambahkan.
Dinda cuek-cuek
saja mengunyah wortelnya yang manis, “Mereka ngomongin kita ya?”
Rio seperti
ingin menjerit kata ‘Iya’ ditelinga Dinda, tapi batal karena Dinda menyodorkan
wortel itu didepan mulutnya, “Ini baru direbus tadi pagi.” Mau tidak mau Rio
membuka mulutnya untuk wortel itu.
Makin kencang
saja ejekan dari teman-temannya, tapi Rio tidak dapat menolak Dinda sama
seperti yang lain. Saat mereka diejek Dinda malah tersenyum dan ikut tertawa
seolah tidak mengerti dan Rio hanya menerima gossip apa yang akan menyebar
nanti.
.
.
.
Dinda berjalan
dengan Keysa sambil mengobrol soal komik yang kemarin mereka baca, dengan mengobrol
seperti itu mereka merasa seperti roket yang meluncur ke toilet yang sebenarnya
cukup jauh dari kawasan kelas X. Keysa masuk ke dalam bilik sedangakan Dinda
hanya menunggu diluar karena dia hanya mengantar dan mencari kesempatan untuk
mengobrol tentang komik yang seru itu.
“Dinda ya?”
tanya seorang senior yang Dinda ingat adalah kelas XI IPA 3 yang namanya Nova,
dia terkenal suka menindas adik-adik kelasnya.
“Iya.” Dinda
tersenyum ramah sambil menatap lurus tidak mau dianggap lemah karena berkedip
atau menunduk.
“Katanya kamu
jadian sama Rio?” tanyanya judes sampai membuat mata dinda kelilipan sakin
judesnya.
“Jadian?” tanya
Dinda mengucek-ngucek matanya yang gatal karena tidak berkedip.
“Pacaran nona
bloon.” Skak. Dinda benar-benar tidak suka kata itu yang dilontarkan pada
dirinya, mungkin jika orang-orang sering menyamarkan kata tersebut dengan
sebutan ‘polos’ Dinda masih bisa menerimanya.
“Oh, karena
istirahat tadi ya?” Dinda tersenyum penuh rencana, “aku Cuma nawarin bekalku
karena Rio kayanya kepengen banget saat liat bekalku tadi.”
“Alah. Paling
Cuma akal-akalan lo doing biar Rio tambah deket sama lo.” Dua kali. Dinda
paling tidak suka logat gue-elo dalam pembicaraan yang tidak mengandung
candaan.
“Oh, kalo nggak
percaya kakak boleh tanya sama Rio sendiri.” Dinda mulai jengkel karena tau
Keysa ketakutan di dalam bilik toilet sampai nggak berani keluar.
“Cih! Katanya
pake suap-suapan segala lagi.” Itu Dinda lakukan karena senang melihat Rio yang
malu karena diejek satu kelas, makanya dia melakukan itu agar Rio tambah
diejek.
“Iya karena
wortelnya enak rasanya manis sekali, direbus sampae mat–“
“Diem lo!”
bentaknya yang kemudian masuk kebilik satu dan keluar membawa gayung berisi
air.
Byuuur!
Tubuhnya basah
tersiram air yang dibawanya sendiri. Dinda berpikir mungkin semua orang juga
dapat melakukannya padahal hanya sedikit orang yang dapat melakukan hal itu
termasuk dirinya. Matanya menangkap gerak lambat Nova yang akan melemparkan air
dari gayungnya, Nova bergerak begitu lambat sehingga Dinda dapat menghindar dan
menangkis gayung itu hanya satu yang ia lupa kalau gayung itu akan terbalik dan
tumpah ke arah Nova juga.
“Si-sialan lo!”
“Maaf bukannya
tadi kakak sendiri yang mau nyiram saya? Saya hanya menghindar.” Dinda tetap
tenang dalam perasaan bencinya yang makin bertumpuk.
“Gue aduin lo ke
guru.” Ancamnya bersiap keluar toilet.
“Nggak gentle
beraninya main aduan!” teriak Keysa yang langsung keluar dari bilik kamar
mandi.
“Cih! Ternyata
lo punya sekutu.” Kata Nova sinis menatap Keysa benci.
“Tenang Keysa,” kita adu reputasi kita lihat siapa yang
menang dan siapa yang akan jatuh terpuruk ditanah.
Nova keluar
dengan menghentak-hentakan kakinya, air masih menetes dari baju dan rambutnya.
Dinda sudah memastikan semuanya walaupun belum benar-benar semuanya. Keysa
menatap kejadian itu dengan heran dan bingung akan bagaimana nanti jadinya.
Lagipula ada satu tindakan Nova yang membuat pembalasan Dinda akan ringan, dia
datang sendirian tidak membawa teman-temannya.
“Gimana nih,
Din?” Keysa panic ternyata yang basah itu Nova bukan Dinda.
“Udah tenang aja
Key, biar aku yang urus aku jamin kamu nggak bakan ikut-ikutan kok.” Dinda mulai
keluar toilet seolah tidak ada apa-apa.
“Bukan begitu
Dinda–“ Keysa terdiam saat melihat wajah Dinda terasa begitu berbeda dan
mengerikan.
“Aku jamin Key…”
Dinda mulai berbicara tentang komik itu lagi dengan tanggapan yang sedikit
canggung dari Keysa, gadis itu merasa ada yang jahat di wajah Dinda tadi.
.
.
.
Rio
memperhatikan wajah Keysa yang masuk kelas dengan Dinda setelah ke toilet tadi
sepertinya terjadi sesuatu antara mereka. Wajah Keysa seperti menutupi sesuatu
yang sangat menakutkan. Bagi Keysa bukan kejadian itu yang menakutkan melainkan
pikiran Dinda yang terlihat polos dan baik hati saat itu Keysa merasakan
rencana-renaca jahat yang terlukis di mata bulat Dinda yang berbinar cerdas.
Selang beberapa
lama Bu Nining menjelaskan penggunaan kata penghubung dalam kalimat, seorang
guru piket mengetuk pintu dan memanggil Dinda ke ruang BP. Semuanya kaget
kecuali Keysa. Benar, batin Rio ada yang terjadi tadi di toilet. Dinda bangun
dari duduknya dengan wajah yang sulit di baca, yang pasti tidak ada rasa takut
terpancar dari sana.
“Sebaiknya kau
jangan berbuat curang.” Kata Rio yang entah mengapa rasanya ingin bicara
seperti itu.
“Tentu saja, aku
akan jujur walaupun buktinya pasti memojokan.” Dinda mulai permisi pada bu
Nining yang menatapnya khawatir.
Pelajaran
kembali dilanjutkan tapi sebagian pikiran mereka teralih ddengan apa yang
sebenarnya terjadi pada Dinda, mulut mereka gatal bertanya pada Keysa apa yang
sebenarnya terjadi tadi. Bel akhir sekolah sudah bordering semuanya semangat
menyambutnya bukan karena ingin pulang tapi ingin tahu apa yang terjadi pada
Dinda, termasuk Rio.
“Hei, Rio. Cewek
mu tuh kena masalah.” Ucap Samsul simpatik, tanpa ada nada mengejek.
“Eh, iya…” Rio
benar-benar canggung mendengarnya. Sebenarnya dia bisa saja membatahnya saat itu
tapi pikirannya terlalu terfokus pada bangku Keysa yang sudah dikelilingi satu
kelas.
“Apa yang
terjadi?” tanya seorang anak cewek yang menjadi biang gossip dikelas.
Keysa terlihat
ketakutan dengan wajah ingin tahu satu kelas itu, “Tadi Nova anak kelas 2
marah-marah karena Dinda pacaran sama Rio.” Rio menelan ludah mendengar itu,
jadi kerena dia, “terus dia mau nyiram Dinda pake air, Dinda menagkisnya dan
Nova sendiri yang tersiram. Dia ngancam mau laporin keguru BP.” Keysa
benar-benar nggak mau berurusan dengan guru BP.
“Kamu harus
bilang ke guru BP soal itu, biar Dinda nggak kena hukum.” Kata seorang anak
cewek lagi yang sepertinya sangat simpatik pada Dinda.
“Iya key, kamu
tolong Dinda.” Bujuk Rio yang sebenarnya merasa bersalah juga karena ini juga
termasuk salahnya, Nova adalah kakak kelas yang mengejar-ngejarnya paling
intens.
“Ta-tapi aku
takut masuk BP.” Setiap orang berpikir pasti ruang BP itu adalah istana setan
yang menyeramkan, walaupun kenyataannya ruang BP itu paling nyaman diantara
ruang guru yang yang lain.
“Keysa jangan
nangis…” kata suara lembut kenak-kanakan dari samping Rio.
“DINDA?!”
semuanya kaget ternyata Dinda sudah berdiri disitu entah sejak kapan.
“Kalian tenang
aja kok, kak Nova yang diskorsing 3 hari.” Dinda sudah menggendong tasnya, “Aku
Cuma diskorsing 1 minggu aja kok.” Semua mata melotot mendengar pernyataan
ringan Dinda, “Kayanya supirku udah jemput daaah semua.”
Semuanya masih
heran dengan Dinda dia memilki aura yang menyenangkan dan sifat yang aneh. Rio
hampir saja berlari mengejar Dinda kalau akal sehatnya tidak segera
mencegahnnya, bisa-bisa orang makin salah sangka dengan hubungan mereka. Rio
hanya berdiri, kemudia melihat kotak bekal Dinda yang berukuran super besar itu
masih ada di laci meja. Rio berjalan menuju meja Keysa yang terus-terusan
menangis karena merasa bersalah.
“Udah enggak
usah nangis Dinda keliatannya senang di skors seminggu.” hibur Rio yang jarang
bicara dengan orang lain selain Dinda, dia merasa semua tatapan seluruh kelas
tertuju padanya. Ia memutuskan duduk kembali ke bangkunya dan memainkan PSP
barunya.
Rio mendengar
beberapa bisikan-bisikan usil dari beberapa temannya tentang dia dan Dinda.
Dari bangku Keysa, gadis itu menatap Rio lekat-lekat seolah ingin menyampaikan
kalau Dinda itu tidak seperti kelihatannya. Sepintas Rio merasa ada yang aneh
dari ujung kelas, ia memalingkan wajah mendapati Keysa menatapnya dengan intens
seolah ingin menyampaikan sesuatu. Keysa terlihat berbeda ekspresinya diantara
teman-teman yang berusaha mencari informasi lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar