Kamis, 21 November 2013

Di Balik Sinar, Bab 1


Gadis itu memakai seragam putih abu-abunya dan mulai mengancingi kemeja putihnya. Saat kecil anak-anak lain berlomba menyampaikan cita-cita tinggi mereka ada yang ingin menjadi presiden walaupun kemungkinannya 1 : 250 juta penduduk yang lainnya, ada yang ingin menjadi insinyur saat itu gelar seperti itu menjadi idaman para orang tua yang mencekoki anaknya, tapi gadis itu memiliki cita-cita menjadi pembantu rumah tangga atau loper koran. Sang guru malah tertawa dan menyarankan untuk mengganti cita-citanya. Gadis itu berpikir setidaknya menjadi pembantu rumah tangga ia akan bekerja sementara yang lain tidur dan jika menjadi loper koran setidaknya ia bangun lebih pagi sementara orang lain masih mendengkur.
Dia selalu datang 15 menit sebelum bel sekolah berbunyi, sebuah rutinitas yang dijalaninya lebih dari 10 tahun. Saling menyapa di gerbang depan untuk bersama menuju kelas. Kini gadis itu menganti cita-cita kecilnya menjadi cita-cita besar tapi tetap saja ditertawakan.
“Mau jadi apa nanti?” tanya seorang guru saat pertemuan pertama mereka di tingkat SMA itu.
“Saya belum menentukan,” jawab gadis itu terlihat polos dan bingung dimata yang lain, “tapi saya akan menguasai bukan cuma negara ini tapi dunia ini.” Semua terdiam kemudian kikik kecil terdengar dari bibir sang guru dan meledak tawa dari teman-temannya.
Secara kultural dia adalah perempuan, bukan hanya kultur Indonesia tapi dunia masih menganggap wanita sebelah mata walaupun sudah ada persamaan derajat. Mendengar ada yang salah dengan cita-citanya gadis itu berdehem untuk mengklarifikasinya.
“Setidaknya untuk kota ini dulu.” Baru kemudian negara ini dan dunia.
“Jadi kamu ingin jadi walikota intinya?” tanya guru itu menahan gelinya.
“Bukan cuma walikota yang menguasai negeri ini dan saya akan menjadi salah satu diluar itu untuk menguasainya.” Sadar pernyataan ini bukan main-main, sang guru segera melanjutkan ke siswa berikutnya.
Gadis itu duduk diiringi tatapan aneh dari seluruh kelas yang tadi mentertawakannya, wajahnya selalu tersenyum tidak tampak ambisius yang tinggi dan garis wajahnya pun menggambarkan seperti anak-anak yang selalu ingin tau. Saat bicara ia tidak ingin mendominasi dan kadang teman-temannya sedikit bingung dengan apa yang ia bicarakan karena topik pembicaraannya terlalu tinggi dan teknis.
“Hai, kita bakal sebangku kayanya sampe kenaikan nanti.” Teman sebangkunya adalah anak laki-alki yang datang kesiangan dan tidak kebagian tempat duduk dibelakang, “Namaku Rio.”
“Namaku Dinda.” Sebuah awal persahabatan yang akan terjalin nantinya.
.
.
Setiap pagi kelas selalu sibuk dengan tugas yang belum dikerjakan, tapi seperti berada di dunia berbeda meja kedua dari depan dekat pintu masuk selalu aman dari keributan. Dinda memang mengerjakan PRnya dirumah mengerti atau tidak akan ia kerjakan dirumah sesuai namanya Pekerjaan Rumah, sedangkan Rio selalu datang sedetik setelah bel berbunyi tapi setidaknya tidak ada PR yang ketinggalan. PR dinda menjadi sasaran empuk teman-temannya untuk diconteki, dia juga tidak keberatan dengan senang hati ia memberikannya.
Tapi ketika dinda salah mengerjakan otomatis semuanya salah kecuali Rio dia memang kurang sedikit bergaul dengan teman-teman sekelasnya. Wajahnya halus dan ganteng membuatnya jadi incaran sekolah, sebenarnya ia sangat ramah walaupun tidak bergaul dengan yang lain. Teman dekat dikelasnya hanya Dinda yang kebetulan duduk sebangku. Dan setidaknya dia adalah nomor satu dikelas diatas Dinda tentu saja.
“PRmu sudah?” tanya Rio yang baru datang dan kemudian dibelakangnya pak Muji masuk.
“Sudah,” jawab Dinda tersenyum ramah, duduknya tegak sekali dengan tangan yang terlipat didepan seperti anak TK yang siap bernyanyi di kelas.
Pelajaran pertama adalah Kimia, sudah setengah pelajaran anak-anak sudah mulai menguap dan malas mendengarkan. Rio sendiri asik menggambar di buku kimianya sedangkan Dinda tetap menulis catatan di papan tulis dengan santai dan telihat gembira, itu yang mengherankan bagi Rio sepertinya Dinda tidak memiliki rasa bosan.
“Kau nggak bosan?” tanya Rio bosan dengan gambarnya, wajah jelek yang mirip dengan pak Muji sekarang ada di bagian belakang buku catatan kimianya.
“Kenapa harus bosan?” Dinda bertanya balik meletakan pulpennya dan mengganti dengan pensil untuk menggambarkan tangan-tangan molekul yang saling ‘bergandengan’ itu istilah yang disampaikan pak Muji.
“Aku nggak tau, apa kau nggak merasa bosan? Bosan itu cuma perasaan yang nggak bisa dijelasin.” Rio agak memiringkan duduknya ke Dinda.
“Perasaan itu bisa dijelasin kok, misalnya kamu merasa senang. Kamu senang karena kemarin kamu dapat PSP baru dari ayah kamu berkat nilai ulangan Fisikamu yang selalu dapat 100.” Kata Dinda dengan santainya sambil terus mencatat.
Kenapa dia bisa tau?, “Aku bosan karena pak Muji hanya menjelaskan dan mencatat saja, kitakan punya laboratorium.” Akhirnya Rio menemukan alasannya untuk bosan.
“Tinggal satu jam pelajaran lagi, cukup nggak ya?” tanya Dinda pada Rio yang bingung ditanya soal apa.
“Maksudnya apa?”
“Kita ke laboratorium,” belum sempat Rio berkata apa-apa lagi Dinda sudah mengacungkan tangannya.
“Ya, Dinda?” tanya pak Muji kikuk karena jarang mendapat pertanyaan.
“Kenapa kita nggak ke laboratorium untuk percobaan atom dan molekul ini pak?” seluruh langsung menoleh simpatik.
“Maaf Dinda sekolah kita kekurangan alat untuk percobaan ini, kalau mau kalian bisa secara inisiatif datang ke laboratorium jam istirahat nanti.” Setelah bilang begitu pak Muji mulai menjelaskan lagi.
“Begitu alasannya.” Kata Dinda dengan nada yang seolah sudah tau.
“Jadi sebenernya kau udah tau kan?” tanya Rio yang masih kaget Dinda nggak mudah dipahami.
“Nggak juga aku baru tau tadi kok.” Dinda tersenyum mengambil kesempatan membuka permen dalam saku kemejanya dan memakannya, kemudian mulai mencatat lagi.
Dinda punya aura yang bagus, walaupun aneh dan memiliki jalan pikiran yang lain teman-teman tetap menyukainya. Dia banyak dikenal di kelas-kelas yang lain, hanya tinggal tersenyum mereka langsung menyapanya. Dinda memiliki daya tarik yang luar biasa, semua guru menyukainya bahkan semua orang. Berbeda dengan Rio, dia memang ramah tapi tetap saja banyak orang yang tidak menyukainya. Hanya karena wajahnya yang ganteng dia memiliki penggemar yang matanya selalu mengikuti gerak-gerik Rio dan membuatnya canggung.
Bel istirahat berdering menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan singkat, bu Fian masih melanjutkan sedikit materinya baru kemudian meninggalkan kelas. Seluruh kelas yang dari tadi gelisah memikirkan makanan dikantin kini tersenyum dan buru-buru pergi ke kantin dengan teman-teman dekat mereka.
Dinda menarik kotak bekalnya, isinya nasi, sosis goreng, capcay, dan tiga potong wortel rebus bentuk balok diatas nasi. Rio melihatnya menjadi lapar, ia berdiri untuk ke kantin membeli nasi bungkus.
“Kau mau?” tawar Dinda, “Ini sisa makan malam yang dihangatkan, semuanya masih oke kok. Ibu memasaknya sore-sore.”
Rio sebenarnya mau tapi ia masih memikirkan apa yang dikatakan teman-teman nanti kalau mereka makan satu bekal bersama-sama, “Kayanya aku beli aja di kantin deh.” Rio mulai berdiri dari bangku kayunya.
“Aku bawa dua sendok yang kebetulan rangkap saat diambil.” Dinda memberikan sendoknya pada Rio yang dengan perasaan tak enak menerima sendok itu, “porsinya cukup besar kok untuk berdua.”
Walaupun itu adalah makan malam yang dihangatkan kembali tapi rasanya tidak berubah benar-benar enak. Rio berpikir masakan bi Inah dirumah kayanya dapat pesaing berat. Saat Rio mulai menyendok lagi dia sadar banyak tatapan mata yang tertuju pada mereka berdua, bahkan Samsul yang baru datang dari kantin langsung melontarkan kata ‘cie’ yang menggema sampai keluar kelas.
“Ada yang jadian nih…” ejek Samsul sambil membuka nasi bungkusnya dikursi belakang.
“Asik PJ dooong buat sekelas.” Rizki mulai menambahkan.
Dinda cuek-cuek saja mengunyah wortelnya yang manis, “Mereka ngomongin kita ya?”
Rio seperti ingin menjerit kata ‘Iya’ ditelinga Dinda, tapi batal karena Dinda menyodorkan wortel itu didepan mulutnya, “Ini baru direbus tadi pagi.” Mau tidak mau Rio membuka mulutnya untuk wortel itu.
Makin kencang saja ejekan dari teman-temannya, tapi Rio tidak dapat menolak Dinda sama seperti yang lain. Saat mereka diejek Dinda malah tersenyum dan ikut tertawa seolah tidak mengerti dan Rio hanya menerima gossip apa yang akan menyebar nanti.
.
.
.
Dinda berjalan dengan Keysa sambil mengobrol soal komik yang kemarin mereka baca, dengan mengobrol seperti itu mereka merasa seperti roket yang meluncur ke toilet yang sebenarnya cukup jauh dari kawasan kelas X. Keysa masuk ke dalam bilik sedangakan Dinda hanya menunggu diluar karena dia hanya mengantar dan mencari kesempatan untuk mengobrol tentang komik yang seru itu.
“Dinda ya?” tanya seorang senior yang Dinda ingat adalah kelas XI IPA 3 yang namanya Nova, dia terkenal suka menindas adik-adik kelasnya.
“Iya.” Dinda tersenyum ramah sambil menatap lurus tidak mau dianggap lemah karena berkedip atau menunduk.
“Katanya kamu jadian sama Rio?” tanyanya judes sampai membuat mata dinda kelilipan sakin judesnya.
“Jadian?” tanya Dinda mengucek-ngucek matanya yang gatal karena tidak berkedip.
“Pacaran nona bloon.” Skak. Dinda benar-benar tidak suka kata itu yang dilontarkan pada dirinya, mungkin jika orang-orang sering menyamarkan kata tersebut dengan sebutan ‘polos’ Dinda masih bisa menerimanya.
“Oh, karena istirahat tadi ya?” Dinda tersenyum penuh rencana, “aku Cuma nawarin bekalku karena Rio kayanya kepengen banget saat liat bekalku tadi.”
“Alah. Paling Cuma akal-akalan lo doing biar Rio tambah deket sama lo.” Dua kali. Dinda paling tidak suka logat gue-elo dalam pembicaraan yang tidak mengandung candaan.
“Oh, kalo nggak percaya kakak boleh tanya sama Rio sendiri.” Dinda mulai jengkel karena tau Keysa ketakutan di dalam bilik toilet sampai nggak berani keluar.
“Cih! Katanya pake suap-suapan segala lagi.” Itu Dinda lakukan karena senang melihat Rio yang malu karena diejek satu kelas, makanya dia melakukan itu agar Rio tambah diejek.
“Iya karena wortelnya enak rasanya manis sekali, direbus sampae mat–“
“Diem lo!” bentaknya yang kemudian masuk kebilik satu dan keluar membawa gayung berisi air.
Byuuur!
Tubuhnya basah tersiram air yang dibawanya sendiri. Dinda berpikir mungkin semua orang juga dapat melakukannya padahal hanya sedikit orang yang dapat melakukan hal itu termasuk dirinya. Matanya menangkap gerak lambat Nova yang akan melemparkan air dari gayungnya, Nova bergerak begitu lambat sehingga Dinda dapat menghindar dan menangkis gayung itu hanya satu yang ia lupa kalau gayung itu akan terbalik dan tumpah ke arah Nova juga.
“Si-sialan lo!”
“Maaf bukannya tadi kakak sendiri yang mau nyiram saya? Saya hanya menghindar.” Dinda tetap tenang dalam perasaan bencinya yang makin bertumpuk.
“Gue aduin lo ke guru.” Ancamnya bersiap keluar toilet.
“Nggak gentle beraninya main aduan!” teriak Keysa yang langsung keluar dari bilik kamar mandi.
“Cih! Ternyata lo punya sekutu.” Kata Nova sinis menatap Keysa benci.
“Tenang Keysa,” kita adu reputasi kita lihat siapa yang menang dan siapa yang akan jatuh terpuruk ditanah.
Nova keluar dengan menghentak-hentakan kakinya, air masih menetes dari baju dan rambutnya. Dinda sudah memastikan semuanya walaupun belum benar-benar semuanya. Keysa menatap kejadian itu dengan heran dan bingung akan bagaimana nanti jadinya. Lagipula ada satu tindakan Nova yang membuat pembalasan Dinda akan ringan, dia datang sendirian tidak membawa teman-temannya.
“Gimana nih, Din?” Keysa panic ternyata yang basah itu Nova bukan Dinda.
“Udah tenang aja Key, biar aku yang urus aku jamin kamu nggak bakan ikut-ikutan kok.” Dinda mulai keluar toilet seolah tidak ada apa-apa.
“Bukan begitu Dinda–“ Keysa terdiam saat melihat wajah Dinda terasa begitu berbeda dan mengerikan.
“Aku jamin Key…” Dinda mulai berbicara tentang komik itu lagi dengan tanggapan yang sedikit canggung dari Keysa, gadis itu merasa ada yang jahat di wajah Dinda tadi.
.
.
.
Rio memperhatikan wajah Keysa yang masuk kelas dengan Dinda setelah ke toilet tadi sepertinya terjadi sesuatu antara mereka. Wajah Keysa seperti menutupi sesuatu yang sangat menakutkan. Bagi Keysa bukan kejadian itu yang menakutkan melainkan pikiran Dinda yang terlihat polos dan baik hati saat itu Keysa merasakan rencana-renaca jahat yang terlukis di mata bulat Dinda yang berbinar cerdas.
Selang beberapa lama Bu Nining menjelaskan penggunaan kata penghubung dalam kalimat, seorang guru piket mengetuk pintu dan memanggil Dinda ke ruang BP. Semuanya kaget kecuali Keysa. Benar, batin Rio ada yang terjadi tadi di toilet. Dinda bangun dari duduknya dengan wajah yang sulit di baca, yang pasti tidak ada rasa takut terpancar dari sana.
“Sebaiknya kau jangan berbuat curang.” Kata Rio yang entah mengapa rasanya ingin bicara seperti itu.
“Tentu saja, aku akan jujur walaupun buktinya pasti memojokan.” Dinda mulai permisi pada bu Nining yang menatapnya khawatir.
Pelajaran kembali dilanjutkan tapi sebagian pikiran mereka teralih ddengan apa yang sebenarnya terjadi pada Dinda, mulut mereka gatal bertanya pada Keysa apa yang sebenarnya terjadi tadi. Bel akhir sekolah sudah bordering semuanya semangat menyambutnya bukan karena ingin pulang tapi ingin tahu apa yang terjadi pada Dinda, termasuk Rio.
“Hei, Rio. Cewek mu tuh kena masalah.” Ucap Samsul simpatik, tanpa ada nada mengejek.
“Eh, iya…” Rio benar-benar canggung mendengarnya. Sebenarnya dia bisa saja membatahnya saat itu tapi pikirannya terlalu terfokus pada bangku Keysa yang sudah dikelilingi satu kelas.
“Apa yang terjadi?” tanya seorang anak cewek yang menjadi biang gossip dikelas.
Keysa terlihat ketakutan dengan wajah ingin tahu satu kelas itu, “Tadi Nova anak kelas 2 marah-marah karena Dinda pacaran sama Rio.” Rio menelan ludah mendengar itu, jadi kerena dia, “terus dia mau nyiram Dinda pake air, Dinda menagkisnya dan Nova sendiri yang tersiram. Dia ngancam mau laporin keguru BP.” Keysa benar-benar nggak mau berurusan dengan guru BP.
“Kamu harus bilang ke guru BP soal itu, biar Dinda nggak kena hukum.” Kata seorang anak cewek lagi yang sepertinya sangat simpatik pada Dinda.
“Iya key, kamu tolong Dinda.” Bujuk Rio yang sebenarnya merasa bersalah juga karena ini juga termasuk salahnya, Nova adalah kakak kelas yang mengejar-ngejarnya paling intens.
“Ta-tapi aku takut masuk BP.” Setiap orang berpikir pasti ruang BP itu adalah istana setan yang menyeramkan, walaupun kenyataannya ruang BP itu paling nyaman diantara ruang guru yang yang lain.
“Keysa jangan nangis…” kata suara lembut kenak-kanakan dari samping Rio.
“DINDA?!” semuanya kaget ternyata Dinda sudah berdiri disitu entah sejak kapan.
“Kalian tenang aja kok, kak Nova yang diskorsing 3 hari.” Dinda sudah menggendong tasnya, “Aku Cuma diskorsing 1 minggu aja kok.” Semua mata melotot mendengar pernyataan ringan Dinda, “Kayanya supirku udah jemput daaah semua.”
Semuanya masih heran dengan Dinda dia memilki aura yang menyenangkan dan sifat yang aneh. Rio hampir saja berlari mengejar Dinda kalau akal sehatnya tidak segera mencegahnnya, bisa-bisa orang makin salah sangka dengan hubungan mereka. Rio hanya berdiri, kemudia melihat kotak bekal Dinda yang berukuran super besar itu masih ada di laci meja. Rio berjalan menuju meja Keysa yang terus-terusan menangis karena merasa bersalah.
“Udah enggak usah nangis Dinda keliatannya senang di skors seminggu.” hibur Rio yang jarang bicara dengan orang lain selain Dinda, dia merasa semua tatapan seluruh kelas tertuju padanya. Ia memutuskan duduk kembali ke bangkunya dan memainkan PSP barunya.
Rio mendengar beberapa bisikan-bisikan usil dari beberapa temannya tentang dia dan Dinda. Dari bangku Keysa, gadis itu menatap Rio lekat-lekat seolah ingin menyampaikan kalau Dinda itu tidak seperti kelihatannya. Sepintas Rio merasa ada yang aneh dari ujung kelas, ia memalingkan wajah mendapati Keysa menatapnya dengan intens seolah ingin menyampaikan sesuatu. Keysa terlihat berbeda ekspresinya diantara teman-teman yang berusaha mencari informasi lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar